Ku melihatnya.
Dirinya yang sedang tertawa menampakan giginya, yang matanya tertelan oleh pipinya. Aku melihatnya dia sedang bercanda dengan beberapa orang lainnya. Ia, membuat beberapa orang tertawa dengan tingkahnya yang tidak bisa kami mengerti. Bahkan, tak sedikit aku berusaha menahan tawa saat dia bertingkah. Dasar.
Aku duduk, dari kejauhan. Aku tak tahu, apakah dia akan tetap tertawa?
Tak lama, namaku dipanggil. Aku tersontak tersenyum kepada banyak orang yang tiba-tiba menatapku.
Aku membisu beberapa detik, hingga akhirnya aku mengeluarkan kata-kata itu. "Ini, hari terakhirku." Kataku seraya menatap dirinya, dirinya terkejut, lalu menunduk enggan melihat ke arahku. Aku melanjutkan kata-kataku. "Aku, minta maaf jika selama ini ada salah." Lanjutku, hingga akhirnya aku menyelesaikan pamitku.
Suasananya membisu. Tak ada kata satu pun. Aku tak tahu apakah semua sedang bersedih atau bingung harus bersikap seperti apa. Aku sesekali melihat dirinya. Dirinya membuang muka. Sebenarnya, bukan maksudku, tapi beginilah jalan yang kupilih.
Setelah semua perpisahan itu. Aku duduk di pinggir kolam bersama temanku, menyantap makan siang terakhirku. Ah, rasanya seperti tidak habis pikir. Meninggalkan banyak orang yang selama ini terlibat dalam kehidupanku, kenapa bisa aku memilih jalan itu? Terkadang aku pun bertanya-tanya pada diriku sendiri.
Tetiba pintu menuju pinggir kolam terbuka.
Aku melihat, kepala yang menyembul dari balik pintu itu. Dirinya. Terlihat tawanya yang seperti biasa, gigi yang nampak dan mata yang tertelan pipinya. Dirinya berjalan menghampiri kami--aku dan temanku.
Lalu dia memulai obrolan dengan temanku, aku mendengarnya, rasanya seperti, tidak ada suara. Sampai akhirnya dia memanggilku, aku tersentak terkejut keluar dari lamunanku. Aku menjawab sebisanya, seadanya, yang kubutuhkan agar dirinya tahu, bahwa aku benar-benar pergi.
Tapi, dia masih menampakan tawanya. Dan aku senang, berarti semua baik-baik saja bukan?
"Pamit ya." Kataku dengan penuh canda.
Dirinya tiba-tiba terdiam. Matanya mendadak teduh namun perlahan mulai melesu, sedikit berkaca. Lalu dia mulai malu dan pergi begitu saja.
Aku menatap temanku. Temanku menyalahiku karena kata-kataku itu. Mungkin pamit adalah kata-kata yang kasar ya, yang bisa melukai orang yang selalu tertawa itu. Tapi, tidak ada kata yang dapat mewakili selain itu.
Aku hanya melihat pintu yang terbuka. Saat itu, aku benar-benar telah pergi.
***
Genap seminggu ada 3 orang yang melanjutkan petualangannya di tempat lain--tidak di kantor lagi. Dan ketiganya wanita-wanita tangguh yang tengah berjuang memilih jalan takdirnya untuk tidak bersama-sama lagi, untuk ambisi yang telah mereka impi-impikan.
Sungguh, wanita-wanita luar biasa.
Bahkan aku pun masih bingung, mimpi besar apa yang bisa mengubah hidupku.
Mereka pun mau tidak mau meninggalkan apa yang telah mereka bangun di sini--kantor. Aku tak tahu apa rasanya saat mereka meninggalkan. Tapi yang aku bisa rasakan adalah orang-orang yang ditinggalkan.
Padahal, katanya kalau perpisahan itu bicara tentang yang pergi meninggalkan.
Ah, tapi aku benar-benar tak pandai. Kuhanya berharap, terbaik pada setiap pilihan besar yang telah kalian tentukan. Tentu saja, aku tahu pilihan kalian pasti yang mendekatkan diri kepada Allah. Semoga Allah memberkahi dan meridhai jalan baru yang kalian pilih ya.
Salam dari orang-orang yang telah kalian tinggalkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
komentar bagi yang perlu