Senin, 11 Februari 2019

Dia Yang Menunggu dan Tak Tahu

Kupikir pertemuan adalah tujuan, rupanya aku salah. Otakku terlalu sempit, tolong maafkan. Kesekian kalinya aku harus pergi meninggalkan, bukan maksud apa-apa, tapi sejauh apapun aku melangkah, sederita apapun ku dalam perjalanan, kuyakin, jika memang kita ditakdirkan akan berjumpa, maka tidak ada yang bisa menghalangi itu.

Senyap, ku berjalan dalam senyap. Melewati dirimu yang terlelap sebelum hujan tiba, sebelum aku meninggalkan pertemuan itu. Mungkin dirimu akan bertanya-tanya setelah terbangun, dan kubiarkan itu terjadi, agar aku paham, bahwa jika itu takdirku, maka itu tak akan melewatkanku, barang sedetik pun.

Biarkan, keyakinan itu yang mempertemukan kita kembali.

Sesungguhnya, pergiku adalah memperjuangkan. Mungkin sepulang ini aku tak akan bilang jika aku telah melewati badai, atau melawan beruang, atau lebih menakutkan lagi seperti diujung darah penghabisan yang mungkin saja bisa membinasakan.

Aku tak akan bilang, karena pertemuan kita sangat berharga, masih banyak yang perlu kita bangun. Karena sekali lagi, pertemuan itu bukanlah tujuan. Pertemuan itu melebarkan jalan, setidaknya bagiku begitu, kita tidak berakhir di pertemuan, tapi kita harus berjalan bersama saat pertemuan itu terjadi.

Mungkin, belum sekarang. Kuyakin ada waktunya, dan ah tentu saja, jika memang kita ditakdirkan mengarungi semua itu bersama.

*

Untuk dia yang berani mengambil langkah besar, jangan biarkan keadaan dunia merenggut senyumnya. Tersenyumlah, arungi semua itu, dan biarkan takdir yang menjawab atas segala jeri payahmu.

Sekali lagi, tentu saja, semua tengah berjuang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

komentar bagi yang perlu