Senin, 18 Februari 2019

Mereka Yang Terus Tidak Peduli

Ini, percobaannya yang ke sembilan.

Aku memperhatikannya dari kejauhan, pria kecil yang terus tumbuh itu menyentuhkan jarinya pada setiap tuts laptopnya. Sesekali menatap langit-langit kamarnya, ia sedang menimang-nimang penggunaan kata yang tepat atau alur yang mengagumkan, dugaku seperti itu.

Entah sampai jam berapa ia bertahan. Aku sudah tertidur pulas.

Pagi itu tiba, aku beranjak dari tidurku. Aku menengok ke kamarnya lagi. Pria kecil yang terus tumbuh itu masih bertahan rupanya. Sudah jam berapa ini? Apa tak ada rasa lelah olehnya?

Belum genap aku berpaling, aku melihat bahunya bergidik, ia terisak rupanya. Ada doronganku untuk mendekat dan menyemangatinya. Tapi, aku menahan diriku. Biarkan, biarkan pria kecil itu menikmati yang namanya kesedihan dalam perjuangan. Biarkan, biarkan pria kecil itu tahu sedih sesedih-sedihnya perjuangan, agar kelak, ia tahu buahnya juga bisa membuat ia menangis, haru.

Siang itu, pria kecil itu duduk di hadapanku, makan dengan semangat. Eh ada apa ini? Bukankah tadi ia sangat sedih? Kenapa langsung menjadi semangat gini? Apa yang baru ia lalui? Apa yang baru ia dapatkan? Ada apa dengan pria kecilku ini?

"Mah." Katanya dengan tersenyum.

"Ya?" Jawabku lembut.

"Kalau adik gagal lagi, apa adik boleh menyerah?"

Bibirku terkatup, aku menahan tangisku, rupanya aku lebih cengeng dibandingkan pria kecilku. "Kenapa adik menyerah?"

Pria kecilku terdiam, memilih kata yang tepat. "Mungkin, memang adik tidak pandai dalam menulis, Mah. Hehe." Ucapnya dengan menunjukkan wajah bahagia, walau aku tahu getir hatinya dirasa.

"Coba Mamah tanya, kenapa adik mau menulis?"

Pria kecilku menimang-nimang. "Karena... Hmmm... Suka aja, Mah. Kayak kata Mamah dulu, kalau suka nggak perlu alasan kan?"

Aku tersenyum. "Lalu, kalau kamu gagal kali ini, apa rasa suka kamu dalam menulis itu berkurang?"

Pria kecilku kesulitan menjawab, terlihat dari diamnya yang cukup lama. Aku pun berusaha membantunya. "Percobaan ini, bukan ukuran pasti dalam kepenulisan kamu. Bisa jadi yang menilainya memang tidak cocok dengan tulisan kamu, dan bisa jadi juga masih ada miliyaran manusia yang suka dengan tulisan kamu."

"Siapa yang suka tulisan aku, Mah?" Pria kecilku penasaran.

Aku menyengir. "Setidaknya ada Mamah, Papah, dan si Kakak."

Pria kecilku terdiam, ia menunduk, meneteskan air mata.

"Bukankah... Adik sendiri yang selalu bilang untuk terus ikut setiap tahunnya? Walau adik sudah tahu rasanya gagal itu. Bukankah adik sendiri yang bilang, ingin tahu, rasanya berhasil itu seperti apa?" Kataku sambil mendekatkan diri pada pria kecilku dan mengelus lembut rambutnya.

Pria kecilku memelukku.

"Biarkan adik, punya sejuta kegagalan, asal ada satu yang berhasil, semua akan mengakui, bahwa adik telah berhasil. Mereka akan mengangkat tangan atau bertepuk untuk adik, ada banyak miliyaran manusia yang merasakan sama seperti adik. Jadi, kita tunggu hasilnya sembari berdoa ya. Siapa tahu tahun ini, adik merasakan sesuatu yang orang bilang... Berhasil."

Pria kecilku mengangguk. Menjauhkan tubuhnya dariku. Lalu beranjak pergi dari meja makan.

"Adik mau kemana?" tanyaku sebelum pria kecilku menghilang dari pandanganku.

"Berdoa..." katanya sambil mengusap-usap matanya lalu kembali berjalan.

Aku tersenyum, andai Papahnya tahu, ia pasti bangga, karena anak bungsunya ini gigih seperti dirinya. Andai Papahnya tahu, pria kecilnya ini sudah beranjak dewasa.

Semoga, kamu beristirahat dengan tenang, Pah.

***

Mungkin, ini tahun ke lima adik priaku untuk mengikuti lomba itu, yang tak terasa ia sudah menjadi pria dewasa, yang tingginya sudah melampauiku, yang ilmunya sudah jauh diatasku, . Dari tahun ke tahun ia berupaya di sela-sela liburan pondoknya yang sangat minim, komputer yang harus ia sewa di warnet.

Namun, rupanya, Allah terus memintanya tuk berjuang.

Aku terkadang sepeti terkejut sendiri, melihat adikku ini online di aplikasi chatting lalu mengupdate statusnya dengan sebuah foto dan kata-kata bersajak bak puisi. Aku seperti tidak menyangka adikku sepuitis itu, aku tidak menyangka orang yang selalu cengengesan ini terus gigih untuk menulis tiap tahunnya, di sedikit waktu senggangnya.

Jika tahun ini ia masih mengikutinya, genap lima tahun adikku memperjuangkan asanya. Aku harap Allah memberikan hadiah untukmu ya, dik. Aku tak tahu bagaimana tulisanmu sesungguhnya, aku tak tahu bagaimana kamu menatap kehidupan ini dari balik jari-jarimu.

Tapi, aku yakin, suatu waktu, kamu bisa jauh terbang, mengangkasa, layaknya satelit-satelit pada planet-planet, atau bak bintang-bintang bercahaya. Perjuanganmu, adalah ceritamu, yang mungkin akan kamu banggakan, maka itu, terus tidak peduli ya, soal gagal, soal pahitnya kehidupan.

Dari kakakmu, yang bingung menyampaikan rasa cinta kepada adiknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

komentar bagi yang perlu