Kamis, 14 Februari 2019

Pria Yang Menangis

Jalanan protokol mulai tersendat, banyak mobil terperangkap dan terpaksa merayap. Perjalan amat-amat lambat. Aku benar-benar harus sabar. Sementara itu si kakak sibuk sendiri melihat-lihat di jendela mobil dengan sangat serius.

Aku tidak tahu, apa yang dia pikirkan.

Lalu si kakak mengusap-usap mata dan pipinya dengan cepat lalu menoleh ke arahku dan berkata. "Ibu, apa pria boleh menangis?"

Aku terkejut dengan pertanyaannya. Aku memberikan senyuman kepadanya. "Tentu saja, Kak. Siapa pun boleh menangis. Mau itu wanita atau pun pria." jelasku.

"Tapi, Bu."

"Ya?"

"Kenapa aku tidak pernah melihat ayah menangis?"

Aku menimbang-nimbang jawaban yang tepat. "Karena... Jika kamu sudah besar, pria itu harus terlihat tegar. Harus memberikan kesan kepada orang yang percaya dengnya bahwa semua tengah baik-baik saja. Jadi... Ayah menyembunyikan tangisnya dan selalu menunjukkan ke kita bahwa semua baik-baik saja."

Si kakak terdiam sebentar, lalu menatap ke jendela lagi. "Tapi, Bu. Aku pasti menangis jika melihat orang-orang seperti itu." Kata si Kakak sambil mengusap-usap matanya lagi yang mulai melinangkan air mata.

Aku menatap ke arah yang dimaksud si kakak. "Kamu kasihan melihatnya?" tanyaku.

Orang-orang dimaksud si kakak adalah orang yang berjalan dengan kedua penopang tubuh karena satu kakinya tiada sementara dia menggendong sebuah tempat yang berisikan sampah dan pada salah satu tangannya pun terdapat pengait sampah.

Si kakak mengangguk cepat. "Bolehkan aku menangis, Bu?"

Aku tak kuasa melihat wajahnya yang polos berlinangan air mata. Aku memeluknya, mungkin suatu hari nanti, si kakak adalah pria yang mudah menangis melihat kesedihan orang lain. Aku tak tahu itu baik atau tidak, tapi hatinya sungguh menawan.

"Kakak punya uang?" tanyaku sambil melepas pelukanku.

Si kakak kembali mengangguk lalu mengecek di setiap sakunya, ia lupa taruh dimana uangnya hingga pada akhirnya ia mendapati dan mengeluarkan uangnya lantas menunjukkan ke arahku.

"Sekarang, berdoa... Semoga uang yang kakak kasih ke orang itu menjadi manfaat yang berarti dan diberkahi oleh Allah ya. Lalu kakak kasih pas ibu bukain jendelanya ya." Pintaku.

Si kakak mengangguk. Lalu berdoa dalam hati. Kemudian aku membuka jendela ketika mobil yang kita tumpangi mendekati orang yang kakak maksud. Si kakak pun berhasil memberikan uang yang ia miliki, lalu menoleh ke arahku tersenyum sambil menangis.

Aku memeluknya, mataku berkaca.

***

Setiap hari, minimal 2 jam kulalui diriku di perjalanan. Tak sedikit aku menjumpai anak-anak yang memainkan musik beramai-ramai, menggunakan biola atau gitar, bernyanyi atau sekadar bernarasi. Aku tak tahu harus mengatakan apa, indah atau tega.

Setiap hari, minimal 2 jam kulalui diriku di perjalanan, walau terkadang sambil terkantuk-kantuk mengerikan. Tak sedikit aku jumpai pria disabilitas berjalan dengan menyeretkan tubuhnya dan beralaskan kardus, karena dia tidak memiliki kedua kakinya.

Lalu pria yang terlihat berprofesi mengambil barang bekas menggunakan dua alat bantu untuk berdiri tegak karena hanya memiliki satu kakinya. Aku tak tahu harus seperti apa, kenapa yang terlihat selalu hal yang tidak mengenakkan?

Dan... Masih banyak lagi hal serupa yang terlihat di sepanjang jalan. Terkadang otak ini berpikir, bagaimana jika aku orang yang dianugerahkan oleh Allah seperti mereka? Apakah aku sanggup? Sejatinya mereka orang-orang hebat, hanya saja keadaan (diluar perihal fisik) membuat mereka harus terlihat seperti itu.

Bukankah setiap orang itu unik? Bukankah setiap orang itu mempunyai kelebihan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

komentar bagi yang perlu