"Waktu dan ambisi akan membunuhmu, entah perlahan atau tiba-tiba."
*
Waktu itu aku nyaris saja menjadi orang bodoh. Bukan karena otak ini tak berfungsi. Semua karena ambisi. Ambisi yang memaksa bergerak lebih cepat dari apapun. Tak peduli situasi, tak peduli apapun. Terpenting ambisiku terpenuhi.
Aku asumsikan di sini ambisi adalah keinginan. Keinginan payah yang membuat aku nyaris saja kehilangan beberapa hal penting. Keinginan memang tak salah, tapi keinginan suka membuat masalah.
Begini kronologinya, aku punya sebuah laptop yang sudah kadarluasa. Tapi, masih bisa berfungsi dengan baik. Sayang saja aku punya ambisi dengan laptop baru--baru dalam artian laptop kepunyaanku yang baru. Nah, hal itu yang nyaris menghantar aku menuju petaka.
Sebenarnya sudah dari jauh hari aku mencari laptop, tapi karena materinya pas-pasan aku nyari yang bekas. Dapatlah, dengan harga yang timpang. Beruntungnya saat itu aku tak sadar bahwa harganya itu timpang dan janggal.
Awal kisah aku kirim pesan dengannya, dia menjawab, baik kita sebut saja biar siapa tahu membantu banyak orang untuk tak terjadi hal ini. Dia mengaku namanya Iwan. Pertama kirim pesan tanya harga, tanya spek. Terus dia meminta pin bbm.
Setelah saling komunikasi melalui chat bbm, dia bilang mendesak. Sampai rela menurunkan harganya. Dia bilang butuh uang untuk bapaknya yang sakit parah. Dia bahkan berani sumpah. Dan mengirim ktpnya, rekeningnya, dan fotonya bersama laptopnya.
Aku semakin percaya. Dan semakin berambisi. Tadinya, aku ingin pergi ke tempatnya--Iwan--di Sukabumi, ke alamat ktpnya. Tapi, dia meminta hari itu juga karena suatu alasan. Alasannya yaitu untung memesan kamar untuk ayahnya yang sakit parah.
Aku menolaknya, aku ingin langsung ke tempatnya saja. Tapi, dia terus memaksa hari itu. Aku pun membatalkannya. Namun, dia memberikan solusi lain. Ya, solusinya, aku bayar beberapa untuk sewa kamar--katanya. Lalu dia ngirim barangnya, setelah barangnya sampai, barulah aku kirim sisa uangnya.
Karena waktu yang semakin mendesak, dan ambisi yang semakin menuju kilmaks. Aku setuju, semua senang. Aku senang begitu pula dia. Namun, dia sempat bilang jika aku tak mengambilnya ada orang yang mau ambil barang itu dengan harga lebih murah, makanya ia meminta aku yang membelinya.
Setelah itu, aku ada kuliah sehingga menunggunya melakukan packing barangnya. Dia mengirim foto packingannya, fotonya sangat meyakinkan. Dibungkus rapih dengan solatip cokelat dan kertas cokelat.
Lalu ia bilang minta jeda waktu dua puluh menit untuk pergi ke ekspedisi. Tak lama, dia bilang sudah beres. Nomor resi pun ia berikan. Aku semakin percaya, ambisi sudah klimaks. Beruntungnya saat itu aku tak memiliki uang di rekening. Seandainya punya uang pula aku tak mengerti cara transfernya--saat itu.
Pada akhirnya aku meminta uang amanat dari almarhum kakek untuk di kirim segera ke orang itu. Orang itu--Iwan--memberikan nomor rekeningnya. Tapi ada yang janggal, nomor rekening yang ia beri dengan yang ada di foto beserta ktp-nya ternyata berbeda.
Aku menanyakannya, dan dia gak masalah mau kirim ke mana saja. Aku pun percaya. Dia meminta untuk transfer lebih cepat, dia mendesak, dengan alibi untuk menyewa kamar lebih cepat. Atau tidak ayahnya akan kenapa-kenapa--tentu saja dengan bersumpah bahwa ayahnya sakit keras.
Aku menghubungi orang tua, beruntungnya lagi di persulit sama orang tua. Aku sempat debat, dan bilang bahwa aku sudah yakin betul akan hal itu. Sayangnya ayah bersih kekeh tidak ingin mentransfer kalau tidak ketemu langsung atau tunggu barangnya sudah jadi.
Sampai situ aku merasa kecewa, aku sempat kesal dengan mereka. Ambisiku seolah ditelan angin sore. Saat itu emang sore dan berangin. Aku ada kuliah lagi, dan aku memberikan nomor orang itu kepada ayahku.
Saat setelah selesai kuliah, ayahku memberi pesan kepadaku untuk tidak mengirim dan sebagainnya. Katanya dia marah-marah dan berbagai halnya. Aku sudah memberi tahu orang tua bahwa dia sudah ngirim barang.
Aku semakin tidak merasa enakan. Dia menghujatku, bahkan menyumpahiku yang tidak-tidak. Seperti saja, dia menyumpahiku bahwa dia tak rela aku mencium surga. Aku semakin panik, saat itu seolah aku tidak peduli mau ditipu atau apa.
Aku berusaha meyakinkan kembali, tapi percuma. Mereka--orang tuaku--tak memberi kehendak. Aku pun terdiam, sampai akhirnya aku melupakannya setelah meminta maaf kepada orangnya. Tapi orangnya cuek. Aku pun menghapus kontaknya karena merasa frustasi.
Tak lama, malam tiba. Ayahku memberikan pesan kepadaku. Memberi tahu, tentang penipuan yang pernah terjadi dengan atas nama sama dengan metode yang sama. Aku pun bersyukur uang yang diamanatkan masih selamat.
Setelah kejadian itu, aku lebih hati-hati dan pada akhirnya aku mendapat ambisiku. Dengan waktu yang cukup lebih lamat namun meyakinkan. Dan kalian tahu? Aku mendapatkan yang lebih baik. Bukan spesifikasinya, lebih jelas dan lebih menenangkan hati.
Ambisi terkadang membuat lupa waktu itu perlu. Waktu pun terkadang membuat ambisimu meledak-ledak. Tiba-tiba atau lambat. Waktu akan menghantarkan ambisimu, jadi bersabar tak ada salahnya.
Dan kini aku sudah mendapatkannya, dengan harga lebih murah. Semua pasti ada berkahnya. Dan selalu berhati-hati dengan sumpah. Mulut mereka sekarang tak peduli tata krama, karena mereka tak kenal dosa.
Orang seperti itulah yang mengerikan. Merusak dan tidak pernah peduli perjuangan. Jika saja uang yang diamanatkan hilang, entah seperti apa aku mengutuknya. Dan dua hari berikutnya kiriman dia datang.
Kalian tahu apa? Aku tertawa hambar saat itu. Sebuah amplop yang diplastikan dan berisikan sebuah cd yang sampai sekarang enggan aku buka. Semoga Tuhan tahu yang terbaik buat orang yang tak kenal dosa. Orang yang tak kenal kasih sayang ke sesama. Seolah menghujat, padahal dirinyalah yang pantas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
komentar bagi yang perlu