Jika kamu menyulutkan api di tepi batu bara berlapis minyak. Maka kamu tahu sendiri akibatnya.
--
Akhirnya saya tersadar. Saya yang membuat semua api itu melahap segalanya. Dari merah yang padam menjadi hijau yang liar. Saat itu pula, saya sekali lagi tersadar. Bahwa saya harus menerima kesedihan itu. Dari semangat yang begitu amat dibanggakan, menjadi terdiam sedu di bawah awan gelap pekat bergumpal.
Saya pikir air pun tak sudi memberi tetesannya untuk saya. Api itu sudah terlanjur besar. Rasa sesal sama dengannya. Berkobar-kobar pada saat mata berkaca-kaca. Saya tahu saya salah. Lalu apa? Hardik saya semaunya. Biarkan saya tenang di dalam semua cercaan antah berantah itu.
Jangan biarkan saya kembali hidup. Terus pendam saya dalam kata-kata penuh masalah. Saya memang penyebab semua kebodohan api yang berkobar-kobar itu. Hanya terakhir kali saya melihat perilaku saya itu. Bodoh. Api. Tak seharusnya saya bermain benda semengerikan itu.
Siapa yang tahu? Benda itu mampu membuat saya bertekuk lutut bersedu meminta maaf tanpa henti. Menjadi seorang bodoh sendiri. Selalu menyesal dan menyesal. Kenapa saya menyulut api rasa ini? Tinggal menunggu waktu saatnya akan tiba. Saya benar-benar terbakar oleh api itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
komentar bagi yang perlu