Pertama kali menjejakan ke Bandung, tak pernah kuterpikir untuk bergelut dibidang jurnalistik. Ya, tak pernah terpikir. Yang aku pikirkan hanya menulis novel, cerpen, dan sebagainya. Setidaknya tidak perlu pertanggung jawaban besar dalam menulis.
Ya, menurutku menulis layaknya jurnalistik berbeda tanggung jawabnya dengan menulis novel dan sebagainya. Menulis artikel berita dampaknya lebih nyata bagiku, berbeda dengan novel yang mungkin tak terlalu signifikan.
Tapi, apa daya. Semua bermula ketika aku mengetahui Masjur, ya dahulunya Masjur, Masyarakat Jurnalistik namun sekarang diubah menjadi Aksara Jurnalistik. Pada awalnya kakak kelas bilang kepadaku, jika kamu suka menulis kamu bisa menyalurkannya disana.
Aku setuju dengan dia, aku mencoba mengikutinya, pada akhirnya aku mencoba mendaftarkan diriku. Tapi, aku tak menyangka, yang dimaksud menulis disini bukanlah karya sastra tapi berita. Tapi, tak apa, aku pun memulai momen pertamaku dikampus, ya, wawancara.
Mungkin aku tak tersadar jika pernah melakukan wawancara sebelumnya, tapi, menurutku, wawancara pertamaku dikampus ini adalah di Aksara, bahkan mungkin itu wawancara pertamaku seumur hidupku.
Aku melakukan wawancara, itu momen paling menyangkan, karena kamu tak perlu berusaha untuk menunjukkan sesuatu, karena kamu disuruh menunjukkan sesuatu yang kamu miliki. Dan disitulah kau berkoar-koar.
Awalnya, sedikit malu, lama-lama jadi asyik. Di tambah kakak kelasnya juga asyik, namanya kak Rani yang sekarang suka membantuku dalam hal menulis. Ya, dia pembaca yang baik. Waktu itu aku terus ditanyakan oleh dia, dan aku pun menajwab sesuai kenyataan.
Pada awalnya aku kira menulis adalah hal yang biasa, tapi ketika ditanyakan tentang berapa lama waktu menulis untuk sebuah novel yang aku terbitkan, dia cukup terkejut, karena hanya memakan waktu dua bulan.
Berbincang dan berbincang hingga akhirnya satu setengah jam lebih mungkin sudah terlampaui dan sepertinya aku mendapatkan rekor wawancara terpanjang selama wawancara masuk di Aksara. Jika ditilik ke wawancara lagi, sebenarnya wawancara kami lebih ke sesi curhat, apa daya, cerita seperti itu memang sering menyita waktu.
Ya, kesan pertamaku adalah di wawancara, dan dari sanalah wawancara-wawancara berikutnya terjadi.