Seharusnya aku malu, benar-benar malu. Memang momen-momen kuliah lalu berubah menjadi momen kerja begitu sulit untuk diterima. Tapi, waktu memang menunjukkannya, walau begitu tetap saja sulit menerimanya menimbulkan efek negatif.
Sejauh memandang, mungkin aku pernah membuat postingan tentang sebuah kerjaan dan sejenisnya. Mungkin belum lama dan sedikit mirip. Tapi, siang tadi sungguh-sungguh menjengkelkan. Bagiku seperti itu.
Di puasa ini, matahari seperti sedang menguji para umat Allah, begitu terik, tak berangin, sekalinya berangin pun, itu seperti tiupan teman yang sesaat. Betapa dahaganya siang itu, dan apalagi harus terjun ke lapangan.
Ya, perpindahan posisi kerja membuatku terus misuh-misuh tadi siang. Bagaimana panasnya menyengat tubuhku, aku tidak berhenti mengutuk panas itu dalam otakku secara tidak langsung. Aku dan temanku misuh-misuh sepanjang siang itu, padahal tugas kamu hanya melihat orang bekerja. Hanya itu saja. Tapi, kami serasa habis membuat kapal laut di atas gurun pasir.
Sorenya, kami masih kerja, dan bahkan untuk pertama kalinya kami kerja hingga magrib menjelang. Meski begitu, aku sedikit mendapatkan ketenangan dan merasakan hidup ini perlu renungan. Agar kita tahu maknanya.
Sore itu, sebelum buka puasa, aku mendapatkan seorang costumer yang tak lain seorang nenek yang memiliki satu anak belum nikah dan satu cucu di rumahnya. Nenek itu sangat baik, begitu pula anaknya, dan cucunya yang masih bocah.
Sore itu, aku mengingat sehari sebelum dimana aku berdiam diri dan nenekku menjadi jengkel. Di situ, aku merasa seperti aku dan nenekku beserta sepupuku. Ya, apalagi yang dibutuhkan nenek seorang diri itu? Kecuali perhatian dari cucuk dan anak-anaknya yang sudah ia besarkan.
Di situ aku merasa malu, ya, sangat malu. Seharusnya aku bisa membahagiakan nenekku yang sudah benar-benar merawatku, menolongku dari ancaman pukulan kakek, dan banyak lagi tak terbayangkan ataupun terjelaskan.
Di situ aku terasadar, aku perlu merenung, agar aku tahu, bahwa hidup ini tak sebatas menikmati, tapi terus berpikir akan kenikmatan itu sendiri. Sudah berapa banyak aku mengurangi kenikmatanku sendiri dengan sikap kekanak-kanakkanku ini? Begitu banyak menurutku.
Selepas buka puasa di sana, aku langsung balik dan merasa sedikit legaan. Pertama, karena dahagaku telah hilang, kedua karena aku seperti dapat hidayah kepada nenekku. Dan sebelum aku tiba sampai rumah, ternyata sebuah renungan kembali terjadi.
Renungan akan apa? Misuh-misuhku tentang pekerjaanku yang hanya melihatin orang di tengah teriknya matahari harus kujilat sebersih mungkin, sungguh harus aku lakukan. Bagaimana tidak, aku hanya melihat dan kepanasan, lalu aku merasa manusia paling menyedihkan?
Sementara itu aku melihat seorang pria berusia sekitar 50-an menurutku, berdagang koran dari rumah ke ruman dengan pakian nyentrik dan kaos kaki bola yang unik, wajahnya yang pekat dengan debu, kakinya yang kokoh karena kalau tidak salah, ia sering berjalan jauh, mungkin lebih dari 10km, aku tidak tahu pasti, yang terpasti pasti aku akan mengutuk hidupku jika aku mengalami pekerjaan seperti dia.
Di zaman yang sudah canggih ini, berapa uang yang ia dapat dari penjualan koran? Aku tak pernah tahu berapa, yang terbayang mungkin tak seberapa dibanding yang lain. Tapi, pantang menyerahnya dan tidak meminta-minta adalah sebuah martabat baginya. Mungkin ia menikmatinya dan kita tidak bisa menyalahkan usahanya, aku pikir orang seperti itulah yang bisa disebut pahlawan.
Entah pahlawan untuk siapa, setidaknya untuk dirinya sendiri. Sekarang aku benar-benar malu telah misuh-misuh tentang siang itu, jika seandainya aku melihat sedikit kebawah, sungguh penderitaan siangku tak sebanding setitik pun dengan mereka.