Jadi sebenarnya ada yang dianggap berubah namun sejatinya tidak berubah. Tapi terkadang lokalisasi waktu, perasaan, dan banyak hal membuat seolah semua berubah.
Seperti, waktu selalu sama ialah 24 jam. Tapi dengan perasaan yang jenuh, seolah waktu sangat lambat dan lebih dari 24 jam. Begitu pun ketika perasaan sedang bahagia seolah waktu bergulir lebih cepat.
Walau ada pemahaman sains soal bergulir waktu lebih cepat dan lebih lama karena adanya pengalaman baru atau tidak. Tapi, sekali lagi, ini seperti lokalisasi. Hanya terjadi pada dirimu sendiri.
Terkadang berpikir, dunia seperti hancur berantakan. Padahal dunia tidak jauh bedanya dengan hari-hari kemarin. Itu hanya terjadi pada diri sendiri, lokalisasi pikiran dan keadaan.
Hari ini pun ku keluhkan, kenapa waktuku kok sedikit sekali ya? Rasanya 24 jam tidak cukup, rasanya aku cuman bisa mengerjakan sedikit sekali dalam sehari. Padahal jika aku luangkan waktu seperti membaca 10 menit aja itu rasanya tidak sempat. Padahal jika dipikir apalah 10 menit dalam 24 jam.
Perputaran waktuku tentu saja harusnya sama dengan orang lain. Tapi tidak dengan lokalisasi waktuku, rasanya sangat cepat sampai bingung harus mengerjakan yang mana dahulu. Sampai rasanya khawatir akan apa-apa yang tidak tersampaikan.
Akhirnya aku bertanya ke Mas Salingga. Jawabannya. "Entah kenapa gue merasa, yang bisa mempercepat dan memperlambat waktu itu ada dua."
Aku penasaran. Walau sudah sempat menduga-duga. "Apa Mas?"
"Baca Alquran dan shalat dhuha. Menurut gue, hanya dua itu yang bisa mempercepat dan memperlambat waktu."
Aku setuju, merasakan sebuah ketenangan jika sehari itu ibadahnya rajin. Kayak semua teratasi dengan baik. Tapi, walau tahu begitu kenapa ya tetap masih malas-malasan? Malah cari pembelaan akan waktu yang terhimpit ini untuk sebuah liburan?
Lokalisasi setan yang menggoda kah?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
komentar bagi yang perlu