Sejatinya saya bukanlah pecinta hewan yang baik. Bukan berarti saya membenci hewan. Saya suka hewan dengan segala keindahannya. Namun, nyali saya tak cukup besar untuk meraba atau menyentuh lebih lama keindahan hewan itu.
Entah kenapa, sejak kecil saya paling takut sama namanya hewan. Ya, entah kenapa. Saya juga tak mengerti. Berulang kali saya tinjau diri saya sendiri. Saya merasa seperti seorang banci yang lupa akan harga diri.
Namun, apa boleh buat? Itu diluar kendali. Hati saya yang berkehendak. Walau otak saya berusaha keluar dari segala situasi yang mengerikan ini. Pada akhirnya banyak orang sering mengejek saya akan hal ini. No problem, terkadang saya senang merasa berbeda--atas kekurangan ini.
Saya tak pernah paham kenapa para wanita sebagian besar menggilai kucing. Ok, pria pun banyak yang menyukai kucing. Tapi, saya tidak tahu kenapa. Lucukah? Indahkah? Unikkah? Mungkin jika bicara unik, kecoa lebih unik.
Saya sering kali menjumpai kucing serta anak-anak kucing. Entah di pinggir jalan, di teras rumah orang, di dekat tong sampah, di atas permukaan tanah yang sekiranya cocok ia hinggapi, dan yang pasti bukan di tempat prostitusi. Itu kucing garong namanya.
Ya, saya terkadang tertarik untuk melihatnya lebih lama sebelum para kucing itu mencoba mencabik-cabik saya dengan cakarannya seperti yang pernah dilakukan seekor kucing ketika saya mencoba menyalakan sebuah sepeda motor.
Tak sengaja, saya menginjak ekornya. Lantas apa? Dengan kuku runcingnya kucing itu tak pandang bulu mencabik kulit saya secepat mungkin. Saya memaklumi hal itu, ia memang pantas melakukan itu. Saya pun terlihat kurang ajar.
Tapi, siapa yang salah? Saya pun tak sengaja. Oke, kita tak perlu mempermasalahkan hal sepele ini. Sekarang saya mendapati seekor anak kucing berada di indekos saya sedang asyik mengacak-ngacak tempat persedian makan yang begitu kusam.
Saya akhirnya tahu dari mana anak kucing itu masuk. Ternyata keteledoran saya yang memaksanya masuk dan menikmati persedian makan saya yang malang itu. Akhir-akhir ini saya begitu malas membuka dan menutup jendela.
Sebenarnya saya memiliki alasan, biar udara di indekos saya tak begitu pengap. Tapi, kalau begini ceritanya. Saya tak tahu dari mana lagi angin berhembus masuk menusuk kamar ini ketika malam. Apalagi saya tak memiliki kipas angin. Mulai saat kunjungan anak kucing itu, saya merasa akan kepanasan disaat malam semakin menjadi.
Setelah saya dengan enggan mengusir anak kucing yang menyeringai dan menyoroti mata tajamnya ke arah saya itu keluar dari kamar saya. Saya membawa makanan yang mungkin tak ia--anak kucing--sadar itu ke tempat sampah dengan tujuan dimakan olehnya.
Tak lama setelah kunjungan anak kucing. Saya tak mengerti, sebenarnya ada apa dengan kucing-kucing di luar sana? Pintu saya terketuk tiba-tiba. Lalu ketika saya membuka saya hanya mendapati seekor kucing bercorak hitam-putih.
Saya hanya tersenyum. Dengan bodohnya saya seakan-akan berbicara kepada itu kucing dengan tujuan memberi tahu sisa makanan yang begitu banyak berada di tong sampah. Dan saya akhirnya tahu, itu tak pernah membantu saya untuk membantunya menemukan makanannya.
Saya tak mau ambil pusing. Setelah dua kucing berkunjung ke kamar saya. Saya pergi ke atas untuk menjemur di malam hari. Karena, besok saya harus pulang ke rumah penuh kenang. Saat itu pula beberapa ekor kucing berlarian dihadapan saya.
Saya tak mengerti, benar-benar tak mengerti. Ada apa dengan para kucing lucu itu? Jangan salahkan saya tak menyukai kalian. Karena sejatinya saya bukanlah pecinta hewan yang baik.
Selain curhat tentang kunjungan si anak kucing, sebenarnya saya ingin bercerita tentang kehilangan celana futsal saya. Tapi, saya tarik kembali niat itu. Entah kenapa.