"Orang hebat tak berawal berdiri diatas kesenangan, ialah sang petualangan kesenangan itu sendiri."
*
Beberapa hari yang lalu, aku mendapatkan sebuah pengalaman. Bukan sebuah pengalaman biasa, sesuatu yang luar biasa dan membuatku sedikit terbuka. Bagaimana tidak, nyantanya mereka lebih hebat dan berani dibandingku. Siapa mereka? Biarkan aku bercerita sedikit.
Waktu itu, aku diundang oleh kakak kelas serta komunitasnya. Aku diundang sebagai narasumber untuk kelas menulis. Nyatanya aku tak pernah melakukan itu, aku termasuk orang yang sedikit pemalu. Ya, memang aku terdengar payah, aku tak seberani beberapa temanku.
Aku balik ke Bandung, aku menikmatinya. Keesokannya, aku tiba di sebuah panti asuhan. Tentu saja untuk kelas menulis itu. Aku sudah menyiapkan beberapa materi dan diriku, tapi tentu saja ini pertama kalinya aku melakukan itu.
Sebuah petualangan baru memang, tapi pada akhirnya aku kecewa. Saat aku tiba, aku semakin merasa hancur, betapa gugupnya dan payahnya diriku saat itu. Aku mendapati beberapa anak-anak panti yang terlihat begitu bahagia, mereka masih pada kecil dan lucu-lucu, kebetulan semuanya laki-laki.
Aku tak terbayang bahwa harus berbicara di depan anak-anak. Sejatinya aku tak pandai bercakap-cakap di depan orang banyak, apalagi di depan anak-anak. Saat itulah aku merasa, ini pengalaman yang paling berharga.
Jelas, kenapa? Aku yang hancur itu berdiri di depan mereka dan membawakan materi yang bagiku, ini agak sulit dicerna untuk anak-anak. Ya, aku membawakannya, aku gugup, aku berbicara sendiri, aku rasanya ingin melarikan diri pas berdiri di depan sana. Paling menyedihkannya, saat aku tak bisa berinteraksi dan membuat anak-anak itu terlihat tertarik.
Terkadang, di sela-sela jam sekolah dulu. Aku sering memerhatikan beberapa guru yang mengajarnya enak dan yang tidak. Terkadang aku sedikit kasihan melihat guru yang mengajarnya kurang enak. Ya, kasihannya adalah di titik dimana anak-anak kelas tidak memerhatikannya--diabaikan.
Terkadang aku lebih memilih berpura-pura memerhatikan walau pada akhirnya aku jenuh dan berpaling dari perhatiannya. Dan saat aku berdiri di sana, di otakku bukan tentang materi-materi itu. Aku terpikir dengan guru tersebut. Apakah aku seperti dia? Apakah anak-anak akan meninggalkanku saat tak ada lagi yang memaksanya berdiri di depan sana.
Bukan tak suka dengan anak-anak, tapi menyampaikan sebuah materi yang terbilang cukup asing bagi anak-anak sangatlah sulit. Kalian harus ekspresif, pandai berdialog, bicara lantang, dan banyak lagi. Tapi, aku tak bisa. Bayangkan, bicara untuk presentasi saja aku terbilang payah, apalagi untuk hal seekspresif itu.
Ya, pada akhirnya aku mendapati anak-anak yang bosan, lirik kesana-kemari, hanya segelintir yang masih mencoba menghargaiku berdiri di depan dan berbicara tak jelas. Aku bersyukur itu terjadi begitu saja, walau aku merasa kecewa. Sangat kecewa. Tapi, ini pengalaman paling berharga pada bulan Ramadhan ini.
Ada satu hal yang membuatku semakin kecewa namun bangga. Aku mendapati tulisan-tulisan mereka. Dan, walau mereka hidup tak sebagaimana orang yang memiliki orang tua. Tulisan mereka terbilang sudah cukup berisi. Bahkan ada yang menuliskan sejarah dan puisi singkat nan bermakna.
Namun, menariknya adalah, mereka lebih pandai berbicara dibandingku. Mereka lebih berani, mereka selalu menanggpi aku dan para teman lebih tegas dan lantang. Dan aku merasa begitu kecewa karena aku terlihat begitu payah dibanding mereka.
Dan begitu bahagia, karena negara ini masih memiliki bibit yang hebat walau tak hidup dengan sempurna selayaknya seorang anak dengan orang tua. Mereka pandai mengaji, bahkan tahu surat yang dibacakan salah seorang dari kakak kelasku. Mereka pun lebih ekspresif, lebih tertarik, dan seharusnya aku bisa memanfaatkan dengan memberikan motivasi menulis untuk mereka.
Tapi, sekali lagi, ini seperti petualangan baru. Di mana aku masih menjalani level 1, pengenalan dan percobaan pertama, memang sulit. Tapi, ada waktu untuk berlatih, dan semoga jika diberi kesempatan berikutnya aku tak mengecewakan.
Satu hal lagi dari mereka, mereka selalu terlihat bahagia. Entah karena mereka masih kanak-kanak, atau mereka memang mempunyai hal untuk selalu berbahagia, mungkin teman dan keakraban mereka sehari-hari membuat mereka menutup lubang sedih di hati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
komentar bagi yang perlu