Senin, 21 Juli 2014

Ladang Labu dan Para Prajurit Kecoa

  Roket itu meluncur deras, warna putih susu serta kaki merahnya menembus awan-awan lembut membubung tinggi lalu menungkik tajam dengan kecepatan diatas rata-rata. Hitungan detik, roket itu sudah berhasil membumi hanguskan tempat ia melandas, dan pada radius 10 sentimeter jauhnya, ikut merasakan hal yang sama, hangus.

  Roket itu terlihat hancur berantakan setelah meledakan diri sepersekian detik sebelumnya. Api terlihat dimana-mana. Terdapat tiga Labu yang berhasil dibumi hanguskan. Tak tersisa secara utuh, ada dua labu di antara ketiga rumah toko yang sukses ikut terluka parah.

  Reruntuhan mengakibatkan debu mengepul dimana-mana, banyak rumput kocar-kacir ketakutan. Sesekali melihat lalu berusaha melindungi diri. Sekelompok semut pun beriringan ikut berlarian. Tak lupa, beberapa cacing kembali mengais tanah demi tanah, hingga satu lubang terdapati dan menyusup ke dalamnya lalu hilang dari permukaan.

  Seekor kecoa tertawa gembira, ia mengibaskan sayap coklatnya lalu terbang ke sana kemari, kembali meluncurkan roket dari markasnya, tangannya memberi tanda. Satu roket dengan kecepatannya menembus udara yang mulai tak berangin. Asap roket terlihat membekas di langit-langit.

  Lalu labu-labu kembali terhancurkan, runtuh tak terkira. Senyum tipis tergurat di wajah sang kecoa, dengan mata mencongkak ke dalam dan seluruh tubuh yang cokelat serta cokelat muda di berbagai sisinya. Sang kecoa yang terbang itu menoleh sedikit ke markasnya lalu meminta roket itu kembali di luncurkan.

  Para semut terus berlari, menghindari roket itu. Melewati rumput-rumput yang ikut berlarian, menelusuri ladang labu itu, lalu harus terlompat oleh guncangan maha dahsyat akibat roket tak berbelas kasihan itu.

  Namun, ada seekor semut berhenti berlari. Menyipitkan matanya, menatap tajam ke arah kecoa terbang. Tubuhnya diselimuti warna cokelat dan kurus menyisakan rangkanya, sang semut berjalan tak peduli ke arah di mana kecoa itu terbang.

  Kecoa itu tak melihatnya, sampai akhirnya iya menoleh ke bawahnya dan terlihat semut kurus itu. Kecoa itu tertawa terbahak-bahak. "Apa yang mau kau lakukan? Kau tak bisa terbang, kau tak punya senjata. Kau hanya seekor semut kurus tak berdaya. Pergi atau aku..." Sang kecoa mengambil sebuah senjata api berupa shotgun dengan peluru yang diisi penuh dan tentu saja, "mematikanmu." ancam sang Kecoa yang sayapnya masih berkibas lalu seringainya semakin melebar, ia sangat merasa menang.

  Semut itu menatap dirinya sendiri dengan pesimis. Alis sang semut menurun, kelopak matanya tersayup, wajahnya mengerut, bibirnya cemberut, dan tubuhnya seolah melemas. Ia benar-benar baru menyadarinya, ia tak bisa mengalahkan sang kecoa. Lalu ia mendongak. "Baik, kau menang, sekarang kau bisa bunuh aku."

  "Eh?" sang kecoa kebingungan, ia tak pernah berpikir bahwa sang semut tak akan melawannya. Malah sang semut memintanya untuk membunuhnya. "Sebaiknya kau pergi, aku tidak ingin mengotori tanganku. Pecundang!"

  Sang semut menghembuskan napas panjangnya. "Ya, seharusnya seperti itu. Tapi, aku tak pernah punya tujuan untuk pergi. Hidupku hanyalah untuk mencari makanan dan makan. Hidupku hanya untuk bertahan. Aku tak punya tujuan. Jadi, aku pikir, jika aku mati, tak masalah, aku akan mencoba bertahan saja. Mungkin bertahan itu tujuanku."

  "Aku tak akan membunuhmu, sebaiknya kau pergi!" Pinta sang kecoa memaksa dengan nada lebih keras sedikit serak.

  "Apa salah satu roketmu ada yang mengenai kami?"

  Sang kecoa menatap ke markasnya, lalu berbalik ke arah semut. Ia menggeleng. "Tidak, kami tidak ingin membunuh kalian."

  "Lalu untuk apa kalian menyerang?"

  Sang kecoa tertawa lebar. "Kami hanya bersenang-senang, kami hanya ingin melihat kalian semua sengsara, sangat sengsara dan memohon kepada kami. Kalian harus patuh terhadap kami, karena kamilah yang hebat di sini. Haha." Sang kecoa semakin menjadi, tenggelam dalam tawanya.

  "Jadi itu tujuan hidupmu?"

  "Eh?" Sang kecoa menoleh ke bawah dan membuka matanya lagi.

  "Kalau begitu bunuh saja kami, kami akan sangat sengsara dengan itu. Dan kau sangat menikmatinya, bukan?"

  Sang kecoa jengkel, ia benar-benar membumi hanguskan segalanya. Semua sudah rata dengan tanah, roket-roketnya meluncur bergantian. Tak peduli apa yang ia tuju, seluruh tempat benar-benar mendapati hujan roket. Semua labu beruntuhan, rumput, cacing, dan semut berguguran. Tak ada yang tersisa, benar-benar tak ada.

  Seluruh prajurit kecoa berkeringat, mereka terlihat seperti mandi. Napas mereka tersengal-sengal setelah silih berganti saling berteriak mengatakan. "Fire!" lalu roket meluncur deras ke udara. Kemudian mengambil lagi roket satunya dan terus seperti itu sampai sejam kemudian.

  Sang kecoa yang terbang itu pun sudah seperti kehabisan suara. Ia pun berhasil membunuh semut yang berusaha mengganggunya. Sang kecoa pun tersenyum. Ia melihat seluruh hasil serangannya, ia tak melihat satu pun yang hidup. Sang kecoa terdiam, tapi matanya membesar, senyumannya menipis dan hilang seiring waktu.

  Sang kecoa pun melemahkan kibasan sayapnya, turun ke permukaan tanah. Dan menyentuh tanah dengan kesedihan. "Sekarang apa?" tanya kecoa kepada dirinya sendiri. "Aku sungguh menikmatinya, tapi kini kami sendirian." sesal sang kecoa melirik ke arah markasnya yang berada di ranting pohon cemara yang tertutup dengan daun-daun pohon cemara tersebut.

  Sang kecoa mengelus tanah dengan tangannya. Lalu ia menarik shotgun dari punggungnya dan membunuh dirinya sendiri. Ia berpikir, kenikmatannya telah habis. Para prajurit kecoa lainnya terkejut dan mereka pun bertindak sama, membunuh dirinya sendiri.

  Setelah beberapa ledakan di ranting hingga membuat ranting itu terputus, terkulai di udara, dan perlahan terjatuh dengan mendayu, para jasad kecoa berterbangan lalu mereka saling bertubrukan di permukaan tanah. Dan setelah semua itu, tak ada lagi yang hidup.

  Semua mati, benar-benar mati.
  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

komentar bagi yang perlu