Sejatinya Tuhan telah memberikan tanda-tanda untuk selanjutnya.
*
Kita memang tak pernah tahu apa yang terjadi sepersekian detik selanjutnya. Tapi, Tuhan selalu memberikan kita petunjuk. Memberikan kita arah. Sebuah hal yang tak pernah terduga sepertinya bisa kita perkiraan. Walau tak selalu tepat, tapi selalu ada tanda-tanda yang tersedia untuk apa yang terjadi selanjutnya.
Begini, mungkin kita bisa memahami bukan? Jika kita terus belajar, maka kita akan pintar. Bukankah terus belajar adalah indikasinya dan pintar adalah takdir berikutnya. Ya, tak semuanya semulus. Terkadang kita sudah mengetahui segala indikasi itu tapi ternyata apa yang kita perkirakaan gagal. Tentu saja, itu pasti terjadi. Hidup ini tak ada yang mustahil.
Belakang ini saya mendapatkan kabar buruk, ya buruk sekali, membuat saya limbung di tengah hujan yang tak henti-henti sepanjang januari. Setelah saya mendapatkan liburan yang kurang mengenakkan, ya saya mendapatkan indikasi kabar buruk itu.
Jika kita urutkan, mungkin semua tak seperti apa yang terjadi selanjutnya. Terkadang begitu saja terjadi, begitulah yang kita pikirkan. Padahal sejatinya Tuhan telah memberikan tanda-tanda itu kepada kita. Hanya kita saja yang terus menutup mata kita sendiri.
Setelah berita buruk tentang kakek yang ternyata kena kanker otak dan sudah mencapai stadium 3, lalu di tambah ekonimi orang tua yang belum membaik, banjir yang melanda sekitar tempat tinggal, liburan yang muram, bertemu teman yang enggan, dan berantem dengan ayah.
Mungkin semua kabar buruk itu tak ada hubungannya dengan kabar buruk yang paling membuat hati hancur lebur. Ya, mungkin tak ada hubungannya, atau mungkin kita tak pernah tahu hubungannya? Tuhan telah membuatku menjalankan perjalanan yang berat, dan sayangnya aku tak pandai bersyukur dan terus mengeluh. Pada akhirnya Tuhan telah menyiapkan hadiah untukku. Mimpi buruk yang lebih besar. Sangat besar. Membuatku harus terus belajar, bahwa bersyukur masih penting dari setiap langkahku.
Sebenarnya aku bukan tak bersyukur, tapi terkadang aku jerah dan suka ngeluh. Ya, ibuku sering menasehatiku terus bersyukur, tapi itu, terkadang membuatku semakin stres. Sejatinya aku tak pernah tulus melakukan itu sampai akhirnya hadiahku kudapatkan.
Waktu itu aku sedang asyik ngobrol bersama teman di kamar, berbincang nggak jelas, terus sebelum ngobrol paginya aku mimpi yang semakin tidak jelas. Kacau tak menentu. Tak lama ponselku berdering, seorang kurir menelponku.
Lantas bilang rumahku tak ada orang, paket itu untukku. Aku mencoba bertanya seperti apa paket itu, lantas kurir itu menjelaskan adalah sebuah buku. Aku pun terdiam, jantung seolah ingin melompat. Saat pertanyaan kedua kulontarkan, dari mana paket itu? Aku langsung seolah terjun ke jurang.
Ya, paket itu dari sebuah penerbit yang beberapa bulang lalu aku kirimkan sebuah naskah. Apa artinya? Ya, tentu saja itu penolakan. Pengembalian naskah. Akhirnya paket itu dititipkan pada satpam di pos 4 di komplek perumahaanku.
Aku memang belum buka paketku itu, tapi aku sudah mendapatkan segala indikasi yang menyimpulkan kali ini aku gagal lagi. Ya, sedih memang. Tapi orang di sekitarku selalu bilang, masih banyak jalan menuju Roma. Ya, walau aku tak ingin ke Roma, aku ingin ke Turin--sejatinya aku fans Juventus.
Ya, aku sudah mendapatkan semua indikasi itu. Aku pun sudah menyimpulkan. Walau aku belum tahu pasti apa isi paket itu, tapi kecewa sudah menyelimuti perasaan ini. Jika bicara liburan terbaik, mungkin ini bisa dibilang terburuk. Tapi, di suatu sisi terbaik.
Kenapa terbaik? Mungkin ini indikasinya, bisa melihat kakek tertawa dari segala pendertiaannya. Kupikir aku harus bersyukur beliau masih bisa menertawaiku. Indikasi kebahagiaan selalu sama, saat kau bisa bersyukur. Itulah kebahagiaan yang selalu kau tutupi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
komentar bagi yang perlu