Sudah setahun semenjak kepergian kakek. Rasanya masih tak terbayang. Waktu berputar begitu cepat, dan aku terkadang merasa sedih. Mungkin sedih yang dirasa adalah kepergian kakekku, tapi lebih sedih lagi aku tak bisa menjadi apa yang kakek ingin waktu beliau masih ada.
Sudah setahun, waktu itu kakekku menaruh harapan kepada cucu pertamanya ini. Ya, sebagaimana orang tua biasanya. Selalu ingin anaknya menjadi yang terbaik. Selalu ingin yang terbaik untuk anaknya.
Kakekku selalu ingin aku menjadi bocah yang membanggakan, seperti kebiasan kakekku. Dia sangat suka membanggakan anak-anaknya. Terlebih kepada orang lain. Walau itu terdengar sedikit jelek, tapi begitulah kakekku. Dia orang tempo dulu yang pandai sekali berbicara.
Dia ingin aku menjadi pelajar hebat seperti orang-orang yang belajar kepadanya. Dia ingin aku menjadi seorang yang berprestasi, seperti berita-berita tentang mahasiswa hebat lainnya. Tapi, beginilah aku sekarang. Genap setahun, aku hanya menjadi saksi sejarah. Bukan si pembuat sejarah itu.
Di situlah terkadang kenapa aku menjadi seorang yang begitu berambisi. Aku ingin sekali membuat bangga kakekku, layaknya orang-orang hebat dikampus ini. Menjuarai kompetisi atau melakukan hal hebat dan unik lainnya.
Itu tak mudah, tapi kakekku selalu percaya kepadaku. Darimana kutahu? Mudah saja, sebagaimana beliau selalu mendukungku. Entah secara emosional, material, atau apapun yang selama ini aku dapatkan.
Tapi, bukan berarti aku masih menjadi saksi sejarah dan menyerah begitu saja. Hidup ini mungkin masih panjang. Karena aku tak tahu hingga kapan, kupikir terus berusaha dan mencanangkan impian masih menjadi hal yang harus dilakukan.
Segala upaya yang baik aku lakukan, tapi aku terus berpegang teguh terhadap usaha yang kuat akan menghasilkan sesuatu yang hebat. Jadi, kegagalan yang selama ini terjadi, aku pikir adalah usaha yang biasa aja.
Tapi, setidaknya aku sempat membuat kakekku merasa dia sukses mendidik anaknya atau cucunya ini. Ya, ketika adikku menerbitkan banyak buku karena diasuh bapak dan ibuku. Lantas aku tak tinggal diam, aku melakukannya juga. Dan aku melihat betapa senangnya kakekku ketika bukuku terbit.
Kakekku yang begitu menyeramkan dari segi paras wajah adalah pria yang begitu kurindu saat mengingat senyumannya yang jarang terlihat kecuali saat meledeki saat sepulang tour dua tahun sekali dahulu.
Dan sejatinya kuberharap kakekku masih ada lantas melihat kesuksesanku. Tapi, apa daya, aku hanya bisa berharap nenekku yang bisa tersenyum dan menemaniku saat wisuda nanti. Oh ya, masuk ke kampus ini saja menurutku sudah membuat kakekku merasa begitu bangga.
Kakekku sejatinya orang tempo dulu yang polos, polos akan teknologi. Setidaknya ketika aku bisa mengajarkan dia sebuah teknologi terbaru, dia sudah bangga memiliki cucu sepertiku. Sederhana bukan? Semoga di alam yang berbeda, dia masih bisa melihat segala jerih payahku dan hasil yang kelak aku yakin membanggakan dia, tentu saja jika dia masih ada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
komentar bagi yang perlu