Selasa, 24 Desember 2013

Bahagia dan Duka

"Bahagia dan duka selalu bersinggung kasih"


  Selalu terasa lelah saat rasa duka menghampiri lantas menyelimuti hari-hari. Menjadikan depresi setiap aksi dan kondisi. Terkekang penyesalan yang tak berujung. Begitulah aku beberapa hari yang lalu. Menanti kepulangan di saat sang surya enggan terlihat. Aku menatap panggung penuh penyesalan.

  Saat itu pengumuman telah dikumandangkan, hal yang diharapkan masih sekadar harapan belaka. Aku tak benar-benar mendapat kebahagiaan saat itu. Rasanya sedih, apalagi saat kamu tahu temanmu mendapatkannya--kemenangan.

  Aku tahu, aku tahu kesalahanku. Dan aku pun tahu semua telah berlalu. Kini tersisa hanya rasa kecewa serta penyesalan. Aku terjebak di antara dua rasa itu. Tak satu pun terbilang baik. Aku pulang dengan segenap malu atas tindakanku yang bodoh itu. Sampai akhirnya aku masihlah pecundang.

  Sepanjang jalan, ku termengu. Menonton film menjadi bosan. Pada akhirnya lelah lantas terlelap tidur. Setiba di rumah, rasa bahagia sedikit tercurah. Bertemu keluarga yang lama tak berjumpa. Sekilas rasa duka itu melepas dari pikiranku. Tapi, itu semua semu.

  Duka dan bahagia sejatinya selalu ada, merubah sepersekian detik menjadi lebih baik atau lebih buruk. Aku merasakannya. Setelah tiba di rumah aku merasa bahagia. Saat di tanya tentang lomba itu, ah sial. Aku merasa kembali berduka--sedih.

  Semalam aku di rumah, tak tahu harus berbuat apa. Sampai akhirnya besok aku benar-benar merasa bahagia. Berkumpul bersama keluarga kakek. Pergi ke sebuah rumah makan dan entah ada apa dengan omku yang benar-benar sedang baik hati.

  Selepas meneraktrir kami sekeluarga. Saat perjalanan pulang, aku tak sengaja melihat sepatu yang terpampang di tengah jalan sebuah mal di Ibukota. Aku menilik satu persatu lantas omku bertanya. "Emang suka main futsal?"

  Aku mengangguk, sejatinya aku hanya ingin melihat-lihat. Tiba-tiba paras omku berubah, dia seolah mendesakku untuk memilih salah satu di antara sepatu itu. Sampai akhirnya benar, omku membelikannya untukku. Oh, sungguh terima kasih banyak om. Tentu saja terima kasih banyak ya Allah.

  Aku lantas bahagia saat itu, pulang dengan wajah berseri-seri. Pertama kalinya omku membelikan sesuatu langsung dihadapanku. Ini hari yang indah bukan? Lantas semua kebahagiaan itu tak bertahan lama, semua itu semu. Tak ada yang mampu bertahan hingga bertahun-tahun atau seumur hidup--kebahagiaan atau kesedihan.

  Besoknya, saat aku melihat hasil ujian ulang bahasa inggrisku. Hah, aku hanya berusaha bersyukur. Nilainya tak ada bedanya dengan nilai pertama kali aku ujian. Aku pasrah, perasaan duka berkecamuk di dalam dada serta pikiran. Sungguh sedih.

  Bahkan yang tadi aku berniat untuk beli laptop baru, aku urungkan. Sungguh tak pantas orang ini mendapatkan hadiah. Apalagi atas segala kebodohannya serta kesalahannya sehingga menuai banyak kegagalan. Sungguh tak pantas.

  Lalu, tak lama aku melihat sebuah media sosial. Terlihat salah seorang saudara jauhku berhasil menuai prestasi. Oh, bedebah. Bunuh saja aku, pecundang ini begitu lemah. Aku pun gelisah sepanjang malam. Aku tak tahu harus berbuat apa. Aku seperti sepotong kue yang jatuh ke permukaan tanah. Terinjak-injak kesalahan serta kebodohan.

  Sejatinya kebehagiaan dan kesedihan itu sama. Semu, sementara, tak ada yang abadi. Tapi, aku tahu, rasa syukur dapat memberi kebahagiaan yang sejati. Saat kamu merasa bodoh, bersyukurlah, karena kamu kelak akan tahu kehebatanmu.

  Tapi, yang sulit dari semua itu adalah. Benar-benar memahami dan dengan khidmat menjalankan rasa syukur. Sebuah rasa ajaib itu memang sulit dilakoni. Tapi, hasilnya. Subhanallah. Hari ini aku masih menunggu. Sebuah pesan singkat darinya. Entah siapa, aku tetap menunggu takdir yang aku gantungkan disana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

komentar bagi yang perlu