Rabu, 03 Desember 2014

Mungkin Seharusnya Ku Pulang

 Sudah berapa hari ini rasanya seperti terpendam dalam hawa panas yang tak kunjung reda. Diselimuti rasa bimbang akan kegiatan yang ada. Rasanya kepala berirama ingin membuncah. Jiwa yang sudah tak tahu arah angin yang sedang berhembus, kurasa kurindu sesuatu.

  Dahulu sewaktuku kecil, aku sering mengalami panas dalam bahkan hingga berujung step, mungkin aku pernah bercerita. Dan hal paling menarik dikala itu adalah bagaimana aku bisa kembali seolah-olah sehat saat berada dipelukan nenek dan kakekku.

  Seolah ada ikatan batin yang mengikat erat, begitu tiba dijenguk oleh nenek dan kakekku, aku seolah menemukan sebuah penawaran racun. Saat itulah dimulai aku tinggal bersama nenek dan kakekku dari kecil hingga beranjak remaja.

  Hanya tiga tahun memang berada di tangan orang tua semenjak remaja, dan seolah waktu berlalu begitu saja. Kenangan pahit, manis, asin, asem yang kurasa saat masih bocah hingga remaja. Tak terbayangkan, betapa penuh kasih sayang sang keluarga--nenek dan kakek.

  Dahulu, aku hanya seorang bocah, aku tak bisa menikmatin hal yang seharusnya bisa kunikmati. Seolah-olah aku menjadi anak satu-satunya saat tinggal bersama nenek dan kakek. Seharusnya aku bersyukur, tapi yang kuingat betapa garangnya kakekku dan betapa baiknya nenekku.

  Tapi, seiring aku remaja, kakekku tak segarang dahulu. Ia kian lama kian membaik, bahkan terlihat begitu asyik. Bahkan apa yang aku inginkan dibelikannya. Walau tetap ada batasnya. Kakekku yang garang bahkan sempat ditakuti teman-temanku, hingga akhirnya menjadi sebuah alasan untuk enggan berdolan ke rumahku.

  Kakek dan nenekku dahulu yang mengawasiku dari ketiaknya. Merunduk menatapku dengan penuh kedisiplinan. Tidur siang yang tak pernah terlewat, sikat gigi yang tak boleh absen, mandi yang perlu digebuk-gebuk hingga ditarik-tarik, dan banyak kejadian yang berkenang dikepalaku, walau sebagiannya bentuk kasih sayang seorang kakek yang terlihat garang.

  Memang, sikapnya tak jauh dengan wajahnya. Tapi, disitulah aku mengenangnya. Saat aku merasa sakit gigi, aku ingat betul petuahnya. "Rasakan nanti, pasti ngerasain sakit gigi." dan saat aku sakit gigi, aku mengangguk-ngangguk. Coba kuingat petuahnya, dan mengikuti aturannya.

  Kakekku yang garang bukan pria yang begitu paham akan agama, tapi dia begitu baik akan sesama. Walau pada akhirnya, ia berani mau belajar agama. Itu hal menyenangkan. Tentu saja itu ketika aku sudah dewasa.

  Dan kini, aku merasa demam yang tak kunjung usai. Mungkin karena aku yang tak bisa mengatur diri, bahkan kakekku pun menyemprotku jika aku sakit. "Gimana mau bisa ngatur orang lain, ngatur diri saja tidak becus, sampai sakit segala." Itu pun selalu kuingat.

  Memang benar, sakit seperti ini adalah kesalahan kusendiri, betapa buruknya memangatur waktu dan diriku. Dan sekali lagi, sekarang, aku memang mengalami demam. Mungkin aku butuh pulang. Ke momen yang pernah ada, kisah yang pernah terngiang, sebuah hal yang menyenangkan.

 Mungkin aku akan sembuh dari demam ini, jika nenek dan kakekku menjemputku untuk membawanya pulang. Rasanya aku berharap itu, walau kini yang ada hanya senyuman nenek yang terpampang dalam kenyataan.

  Kakekku bukannya menghilang atau tak ingin mengenang, ia sudah menjalankan tugasnya di dunia ini. Kebaikannya selalu ku kenang, keburukannya kuharap dimaafkan. Entah mengapa, terkadang justru aku rindu padanya. Bahkan kupikir, ia masih ada di dunia ini.

  Kuharap aku pulang sekarang, dan menyaksikan lagi. Menangisku karena kasih sayang, rinduku yang tak pernah terngiang. Bahkan cerita saja belum terukir sejarah. Aku rindu di suatu momen yang tak bisa kembali, mungkin pulangku tak bisa kulakukan.

  Betapa menyedihkannya. Tapi, beginilah kehidupan. Kau akan mengenangnya, dan tak bisa kembali. Pulang pun hanya sebatas kiasan. Kuharap aku bisa datang, di suatu momen yang ada. Entah di dunia ini, kurasa tidak, semoga saja di dunia sana--Akhirat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

komentar bagi yang perlu