Selasa, 19 Januari 2021

Antara Lutut, Punggung, Pinggang, dan Saya

Belum mulai pengobatan untuk lutut yang cidera bertahun-tahun, ternyata datang lagi cerita tentang pertubuhan ini. Saat itu saya terheran, ini kenapa punggung rasanya ngilu, belum kelar juga punggung, pinggang juga.

Saya merasa sudah di usia senja rasanya.


Akhirnya saya memberanikan diri untuk periksa. Berobat adalah fakta unik sendiri bagi saya, tak jarang saya menyuruh orang untuk berobat jika ada keluhan, tapi ketika saya yang mengalami rasanya enggan sekali. Salah satunya mungkin karena saya takut akan kenyataan kalau ternyata tubuh saya tidak baik-baik saja.


Tentu saja, biaya berobat yang tidak murah. Itu momok yang mengerikan dari berobat.


Akhirnya saya mulai pergi ke rumah sakit. Saya pun mendapati tulang saya agak sedikit skoliosis, ditambah adanya tulang punggung yang menyempit dan membuat syarafnya terhimpit. Umumnya saya menderita syaraf kejepit atau HNP.


Saya dipinta untuk terapi, saya semakin sering ke rumah sakit. Rumah sakit seperti rumah kedua saya saat ini. Beberapi kali terapi, terapisnya menanyakan umur saya. Saya jawab semestinya. Lalu si terapis menyayangkan usia saya yang muda tapi sudah mengalami hal seperti ini.


Sejak itu saya menyadari, ternyata dari sekian banyak orang yang pergi terapi bisa dikatakan saya paling muda. Kebanyakan sudah ibu-ibu atau bapak-bapak yang cukup berumur.


Saya jadi sering bermuhasabah, mengingat saya sudah berkeluarga, sakit itu jadi hal yang serius. Ketakutan akan keluarga yang masih harus dinafkahi terus mencuat, jika saya tidak bisa bekerja secara reguler, banyak yang akan berubah.


Saya jadi sering termenung kalau lagi mengendarai motor, sampai tak sengaja saya melihat penjual jamu yang sudah paruh baya, ibu-ibu, menggendong jamu yang tak sedikit, dan dalam perjalanan menanjak.


Saya jadi membandingkan penjual jamu itu dengan diri saya. Ibu itu dengan dengan segala atributnya entah usia, gender, atau keadaannya masih sangat kuat untuk menggendong jamu kemana-mana, termasuk tanjakan.


Lalu kesimpulan liar tercetus, apa saya kurang minum jamu ya? Apa ibu-ibu kuat karena minum jamu? Haha.


Saya tidak tahu apakah ibu penjual jamu itu memang tidak memliki masalah pada tubuhnya yang terus menggendong jamu kemana-mana. Tapi yang saya dapati, semua memang harus dikelola dengan baik, termasuk kesehatan.


Selama pandemi ini, aktivitas gerak semakin berkurang, duduk sepanjang hari didapati. Tampaknya, Allah memberikan sinyal lewat tubuh yang tidak enak agar kita berolahraga, minimal stretching.


Yuk, hidup sehat, dan jangan lupa minum jamu. Eh…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

komentar bagi yang perlu