"Jadi, kenapa kamu diam mulu? Memangnya kamu tidak ingin ngumpul atau ngobrol-ngobrol bareng kami?" tanyaku padanya, seraya berjalan di trotoar menuju gerbang utama kampus.
"Kenapa kamu ngumpul-ngumpul?"
"Karena, itu seru, enak, pokoknya gak ngebosenin."
"Ya, itulah rasanya."
Tersentak aku terdiam, berhenti bertanya. Menggaruk kepala yang tak gatal, membiarkannya jalan terlebih dahulu dibanding aku. Lalu, aku mengejarnya kembali. Kembali bertanya.
"Jadi, kenapa bisa pintar begitu? Sebelum materi dijelasin, udah belajar atau apa? Kan kerjaannya di asrama mulu nih."
Pria itu mengusap-usap dagunya seraya tersenyum kecil. "Tidur pekerjaan bukan? Itu yang aku lakukan di asrama."
Entah ia berbohong atau tidak, pria ini mengundang sejuta tanya. Siapa sangka pria yang kehadirannya seperti 'tiada' begitu banyak menyimpan ambisi. Apa yang ia bilang, eh? Ya, begini ia bilang.
"Baiklah, sebenarnya aku ingin mengangkat standard kualitas. Bagaimana orang bilang? Plagiat? Entahlah, bagaimana mungkin kita plagiat. Misalkan kita mengambil sebuah sumber dasar, sebut saja mengambil dari wikipedia. Bagaimana mungkin bisa?" tanyanya setelah dihujam banyak pertanyaan olehku.
Lalu dia tersenyum kecil dan terlihat ragu. "Entahlah, aku sendiri juga tidak begitu paham tentang pembahasan." Ia tertawa kecil lalu menatap sekitar.
Siang itu terdengar desiran angin setelah shalat jum'at terjadi. Aku dengannya bagaikan air dan api. Dia air yang tenang dan terus tergenang. Sementara aku, adalah api yang melahap segalanya, atau perusak? Entah. Aku terus bertanya layaknya wartawan, berbagi kisah dengannya. Kalian tahu, eh? Dia telah membuat game sendiri.
Saat kutanya dasar membuat game, apa dia bilang? Jawabnya adalah keinginan dan penasaran. Ya, entahlah. Dia belajar bahasa pemograman dan dalam tiga bulan terciptalah game miliknya. Walau belumlah sempurna. Untuk anak lulusan SMA itu terbilang, pandai.
Masalahnya, game itu bukan hanya game klik, itu game RPG. Sampai akhirnya ia mengajukan permintaan. "Ajarin saya ilmu sastra dong." ucapnya kepadaku.
"Eh?" aku terdiam walau dalam hati tertawa lebar. Bagaimana mungkin aku bisa mengajarinya sastra? Sementara aku saja lagi hilir mudik belajar. Apalagi mata kuliah bahasaku sering mendapat nilai jelek. Ayolah, formalitas terkadang membuatku begitu muak.
Lalu perbincangan panjang kami yang hanya berdua itu harus disudahi oleh waktu. Lagi-lagi, kenapa ia selalu mengusik kehidupanku, eh? Seandainya waktu itu hanyalah formalitas. Mungkin aku akan lebih muak. Entahlah, pikiran ini selalu menjelaskan seperti itu. Pikiran payah tentunya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
komentar bagi yang perlu