Selasa, 19 November 2013

Topeng Malaikat

"Bahkan iblis pun bisa memakai topeng malaikat."

  Aku tak tahu mana wajah asli orang itu. Dia tak bermuka dua. Hanya saja samar. Samar bagaikan angin-angin yang bertiupan. Aku tak paham, apakah itu dia? Atau hanya tampilan semata. Wajahnya bak fatamorgana. Sampai akhirnya aku mencoba tak peduli.

  Orang-orang sering berkata. Bukan sembarang kata biasa, heboh! Kalian tahu, bagaimana seseorang mencari sensasi dan berhasil!? Yak! Hebohnya bukan main. Aku pikir ini hanya pandanganku setelah mendengar cerita dari angin-angin disisiku.

  Pada awalnya aku hanya terdiam. Heran serta bertanya-tanya. Dia berdiri di sisi kami--aku bersama teman-temanku--dia menatap dengan iba. Lalu bertanya dengan nada yang pelan dan jika ditilik baik-baik seperti orang tersedu.

  Kami semua serentak menatap dia, dengan heran serta bertanya-tanya tentunya. Lalu suasana lenggang. Salah satu dari kami mengangguk dengan takzim. Dia masih terdiam, kami melanjutkan tugas kami. Ya, saat itu kami sedang mengerjakan tugas.

  Di sebuah bagian dari sisi kampus. Orang bilang English Cafe, ah siapa peduli? Menurutku hanya harganya saja seperti di Inggris. Atau mungkin aku gak pernah tahu rasa khas inggris? Entahlah, saat itu aku sedang menahan dahaga serta nafsu dari terbit fajar hingga senja selesai.

  Baiklah, lalu dia berdiri dengan--masih--wajah ibanya. Aku tak peduli saat itu, aku sedang sibuk dengan tugas yang menurutku paling mengasyikan. Dia akhirnya membuka suara lagi dan memecahkan keheningan diantara kami--aku dan para temanku.

  Sebelumnya, percayalah dia mahasiswa kampus ini juga. Pada awalnya aku tak peduli. Tapi, ketika ia berbicara dengan wajah ibanya untuk kesekian kali. Aku mulai bertanya-tanya. Dengan seragam kampusnya, kalian tahu apa yang dia ucapkan?

  "Boleh minta uang seikhlasnya gak? Untuk bayar hutang." Kurang lebih begitu katanya.

  Aku menatapnya seraya menyipitkan mata. Segitukah? Lalu temanku menegaskan kalau kami tak punya uang. Aku tak mendengar apa yang temanku bilang, saat itu orang itu berpaling dari hadapan kami menuju meja berikutnya dengan wajah yang masih terlihat iba.

  Lalu salah seorang dari kami bercerita. Tentunya dengan suara yang pelan, karena saat itu dia belum beranjak jauh dari tempat kami. "Itu orang yang foto bareng artis itu." ucapan pertama teman di depanku.

  "Yang di share sama si Ikhsan? Yang editan itu?" tanyaku semakin penasaran.

  Temanku mengangguk dengan takzim. Aku pun mengangguk. Perlahan aku menilik wajah dia lagi, benar juga. Dia seperti tak asing bagiku. Entahlah. Atau hanya perasaan aku saja. "Terus, jadi bagaimana ceritanya tadi?" tanyaku meminta temanku mengulangi ceritanya.

  Pada saat itu aku benar-benar fokus dengan layar laptop yang memedihkan mata. Temanku akhirnya angkat bicara. "Jadi, waktu itu aku dengan Yozan juga dihampiri dia. Lalu bilang dia belum makan, parasnya sama. Bikin kasihan."

  Aku mengangguk. "Lalu?"

  "Ya dikasih sepuluh ribu. Gak tahu deh buat apa tuh uang. Mencurigakan begitu." sambungnya.

  Lalu sebelum aku menyahuti cerita teman di depanku. Teman disampingku angkat bicara. "Kalau mau nyumbang mending ke yang bener aja deh. Kayak begitu mah gak tahu dipakai buat apa."

  Aku lalu mengangguk lagi dengan takzim. Aku sebenarnya tak berani menyimpulkan semacam apa dia itu. Entah kenapa wajahnya bak malaikat, terlihat begitu baik dan hati merasa iba. Tapi, dibalik itu semua entah kenapa aku berpikir negatif. Ibliskah?

  Entah sekali lagi entah. Kalau aku berpikir negatif maka itulah yang aku pikirkan. Namun, itu hanya perumpamaan. Aku tak sepenuhnya menduga seperti itu. Walau dengan alasan apa dia mencoba merendahkan dirinya. Tapi, sekali lagi berpikir positif.

  Masalahnya, jika benar-benar dia dalam kondisi seperti itu. Bukannya menakjubkan bisa kuliah disini? Walau disini bukan kampus yang elit, yang bayar bisa ditukar dengan satu mobil. Tapi, tetap saja bagiku kuliah disini tak semudah membeli ayam kampung.

  Aku tidak bisa menyimpulkan. Tapi, aku berani berkata itu. Kenapa? Karena aku benci topeng itu. Mengerikan bukan? Sahabat yang ternyata musuh? Pahlawan yang ternyata pengkhianat paling besar? Bukankah ini sudah biasa di dunia fana yang melelahkan ini?

  Serendahnya hidup ini, setidaknya jangan merendahkannya. Ya, biarlah rendah. Tapi, jangan dibuat rendah. Maksudku harga diri. Kalian tahu? Harga diri begitu mahal, apa kalian rela menjualnya dengan begitu murah? Entahlah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

komentar bagi yang perlu