Seperti sajak-sajak, mentari mulai merekah dari ufuk
timur.
Aku terjaga selama 24 jam, hari itu adalah jum’at aku
masih di luar hingga sabtu pagi dan matahari terbit lagi. Aku sengaja tidak
pulang ke rumah untuk terlelap disana, aku merasakan rasa malas karena harus
berebutan kamar bahkan kasur dengan tante dan sepupuku, hingga aku memutuskan
terjaga hingga subuh.
Subuh, petualangan setiap bulanku dimulai, sungguh
menyedihkan, menjelang pagi, nenek-nenek atau kakek-kakek harus rela mengantri
untuk berobat menggunakan bpjs, itu pun hanya untuk mengambil antrian saja,
berobatnya bisa jadi siang atau sore.
Disitu, antrian sudah berbaris panjang, membosankan
bukan? Tidak ada yang gembira dengan mengantri, kecuali mengantri ke surga
mungkin (?) ya aku ikut rombongan antrian cukup panjang itu, kami menunggu dipagi
yang masih gelap bahkan orang mungkin masih terlelap.
Diluar sistem yang aneh dan menyusahkan ini, aku
merasakan perihnya mengantri apalagi di Indonesia ini kurasa, entah diluar
seperti ini atau tidak. Terkadang aku merasa iba dengan kakek-kakek dan
nenek-nenek yang mengantri, tapi, rasanya jika mereka menyelak antrian dengan
berpura-pura kelelahan—atau mungkin emang kelalahan?—entahlah tapi itu membuat
kami merungut dan tak sedikit orang ingin berkata padanya. “Sudah tua gak tahu
diri, harusnya mengantri dengan adil.”
Saat itu, seorang kakek melenggang dengan terpincang, awalnya
aku merasa iba, aku pikir dia akan duduk sejenak lalu kembali ke antrian.
Namun, ketika aku masih mendengar perbincangan orang lain, lantas saja kakek
itu maju ke meja terdepan untuk mengambil antrian pendaftaran berobat, dan, itu,
membuatku kehilangan rasa ibaku.
Sungguh, tidak seperti itu caranya. Aku pikir izin
adalah lebih baik, atau minimal duduk dan menitipkan antriannya, tidak dengan
menyelak begitu saja, entahlah, dari sudut pandangku yang berada diantrian, itu
sangatlah menyebalkan.
Antrian begitu panjang, hingga akhirnya aku
mendapatkan nomorku, 57, ya, itu masih setengah lagi, antrian yang berlangsung
adalah 25-an, aku yang belum terlelap sejentik pun berusaha bertahan, aku
membaca novel, tapi malah semakin kantuk, ponselku mati tak berdaya, aku
rebahan sejenak yang aku pikir masih lama.
Nyatanya, benar saja, aku harus merasakan perih dan
penyesalan sendiri, kali ini tak ada yang bisa aku salahkan, tapi aku rasanya
ingin terus mengumpat. Antrian yang sudah berlangsung sudah mencapai 75-an,
argh, aku gemes, sangat gemes ya Allah, kenapa? Aku lantas berlari ke meja pengambil
antrian, dan dapatlah 121. Ya Allah, aku ingin meledak.
Aku gelisah di kursi, ingin marah, tapi aku yang
salah, akhirnya aku menyerah dengan keadaan, aku tidak bisa berbuat apa-apa
kecuali aku mengubah sudut pandangku. Aku memaksa diriku untuk keluar dari
rumah sakit dan pergi ke pasar sukapura—pasar tradisional—yang kebetulan dekat
dari rumah sakit islam sukapura.
Sudah berapa lama aku tidak ke pasar tradisional? Aku
berkunjung kesana, tak ada tujuan, tak ada pemaknaan, hanya berkunjung. Tapi beruntung
aku sudah merencanakan beberapa barang yang ingin dibeli dan akhirnya aku
membelinya disana. Ya aku jalan-jalan, rasanya sungguh nikmat, tidak mengerti
bagaimana bisa terasa nikmat, tapi aku merasakan kegelisahan akibat ketiduran itu
hilang sesaat.
Setelah aku berjalan-jalan, aku kembali ke rumah sakit
dengan beberapa belanjaan seperti hanger, celana pendek basket, dan es cendol. Aku
menikmati semilir angin di lobi rumah sakit dengan meminum es cendol, nikmat
itu sederhana bukan? Apalagi sambil membayangkan sudah berumah tangga... ah
betapa lucunya, mungkin.
Lalu akhirnya aku maju ke meja pendaftaran berobat,
namun ternyata ada berkas yang kurang, aku nahan emosi, aku perhatikan
baik-baik, beruntung tidak disuruh pulang, aku pergi ke kamar 3 untuk meminta
surat lalu memfotokopinya, namun, aku tidak mengerti, kenapa kita terlalu egois
sekali? Seakaan kita yang paling tidak punya waktu?
Lagi, aku yang mengantri untuk fotokopi terlebih dahulu,
harus menahan emosi lagi ketika aku diselak. Kronologisnya adalah dimana sang
penjaga fotokopi sedang keluar, aku mengantri dengan duduk agak ke belakang,
aku pikir orang pertama kali datang paham antriannya sehabis dia adalah aku,
tapi tiba-tiba penjaga fotokopi datang dan mereka seolah mengulang antriannya,
dan aku tak tahu, apa aku yang salah? Apa aku terlalu optimis untuk memahami
keadaan bahwa aku mengantri kedua?
Yasudah, aku meyakini, beginilah memang aku harus
mengerti orang lain, mungkin bisa jadi selama ini aku bertindak seperti mereka
dan banyak orang terdzalimi tanpa aku ketahui, astagfirullah. Mungkin itu
balasan oleh Allah untuk menyadarkanku akan tindakan kita bisa jadi tanpa
sengaja mendzalimi orang lain? Seperti beberapa hari ini aku kembali merasa
suka berkata menyakitkan orang lain walau niatku bercanda, apakah ini yang
dirasakan mereka yang sering aku bercandai tapi nyatanya menyakiti? Semoga Allah
dan mereka memaafkan kesalahanku. :(
Selepas semua mengantri itu dari kesalip, ketiduran, kesalip
lagi, akhirnya nenekku bisa berobat buat nanti siang, Alhamdulillah, walau
ternyata aku memfotokopinya begitu banyak padahal yang dibutuhkan hanya
satu kopian, hmm, aku harus bersabar, mungkin aku harus lebih bijak dan mau
mendengarkan seksama perkataan orang lain.