Aku kehilangan,
Kehilangan nenekku,
Aku terbangun diatas benang yang telah terajut rapih setinggi
1 cm dengan kehalusannya berwarnakan merah.
Aku berjalan terhuyung, setangkup air membuncah di mukaku.
Aku mengkerjap berkali-kali.
Aku masih terhuyung, melihat koridor rumah sakit, rasanya
pening, berkali-kali mengkerjap, aku tidak menemukan nenekku di barisan kursi
para pasien itu. Tidak, aku telah kehilangan nenekku. Aku duduk pada sebuah
kursi, ah sial, aku tidak dapat melihat penjaga loket yang cantik saat itu.
Aku beranjak dan masih terhuyung, menatap kanan dan kiri
berharap nenek hadir kembali disini di tempat sebelum aku meninggalkannya. Aku
pindah tempat duduk, bukan, bukan untuk melihat penjaga loket. Aku masih belum
sempurna sadar, aku masih melihat kanan dan kiri.
Terlihat seorang anak yang mungkin memiliki gangguan mental sedang
mengajak ayahnya bercanda namun terasa memiluhkan. Sang ibu tertawa berkata ke
beberapa pasien yang melihatnya. “Lagi pengen diajak bercanda itu.”
Aku melihat ke arah ayahnya, datar, ah, aku tak sanggup
melihatnya.
Belum genap kepalaku berputar 180 derajat—tidak persis. Aku
melihat seorang anak kecil dengan rambut kusut nan tergerai, memakai jaket olahraga
berwarnakan hitam dominan dan garis tipis pink tanpa ekspresi menggandeng
seorang ayah yang tunanetra dengan tongkatnya. Tangan kanan gadis itu merangkul
erat tangan ayahnya, ia berjalan di depanku tanpa peduli sekitarnya ia terus
berjalan.
Aku berdiri, berjalan ke beberapa ruangan mengintip sedikit
dari luar, tidak, aku tidak menemukan nenekku. Aku akhirnya memberanikan diri
bertanya ke bagian farmasi dimana biasanya aku menunggu atau mengambil obat
untuk nenekku. “Ruanga dokter syaraf dimana ya?” tanyaku, tentu saja aku tidak
menggodanya hey.
Aku berjalan ke arah kiri, hingga mentok lalu menoleh satu
lorong pendek, dan tidak ada tanda-tanda nenekku. Aku tidak menemukannya. Aku
memutar balik badanku dan aku melihat penjaga loket itu, ah, sekarang aku sudah
tidak tertarik, aku langsung duduk disembarang dan berpikir. Kemana nenekku? Apakah
dia sudah pulang terlebih dahulu? Sudah genap 3 jam aku tertidur di masjid, apa
iya ia tidak menghampiriku?
Aku terus bertanya-tanya hingga akhirnya suara adzan menggema
perlahan merembet dari udara sekitaran masjid dekat rumah sakit hingga menggema
masuk ke dalam rumah sakit dan menjalar ke setiap orang yang ada di situ.
Nenekku yang harusnya berobat jam 8, dan sekarang jam 12 aku
tidak tahu dia dimana. Aku bertanya-tanya, apakah harus menunggu hingga akhir
detik adzan berkumandang? Ah aku terbayang bagaimana jika aku menunggu lalu
ditinggalkan?—mungkin ini beda konteks, tapi menyakitkan. Tapi, beberapa
kejadian kemarin dan mendengar kisah-kisah kehidupan, aku selalu percaya Allah
punya skenario sendiri.
Belum genap detik akhir adzan berkumandang, aku menyerah,
aku harus kembali sujud dan bertanya, kemana nenekku? Aku berjalan sedikit tidak
terhuyung, hingga aku melewati koridor dengan percaya diri. Aku tiba diluar dan
nenekku terlihat keluar dari koridor lainnya.
Aku tersenyum, kami bertemu dengan mesra, di tempat dari
jalan yang berbeda, berpasrah diri dan mengharapkan bantuan-Nya ternyata
diberikan secepat dan semudah itu. Aku tertawa kecil lalu kita berjalan bersama
menuju Masjid itu. Panas saat itu tidaklah terasa, apalagi ketika menjumpai
orang yang kita cintai. Alhamdulillah...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
komentar bagi yang perlu