Sabtu, 19 Mei 2018

Nenekku Hilang

Aku kehilangan,

Kehilangan nenekku,

Aku terbangun diatas benang yang telah terajut rapih setinggi 1 cm dengan kehalusannya berwarnakan merah.

Aku berjalan terhuyung, setangkup air membuncah di mukaku. Aku mengkerjap berkali-kali.

Aku masih terhuyung, melihat koridor rumah sakit, rasanya pening, berkali-kali mengkerjap, aku tidak menemukan nenekku di barisan kursi para pasien itu. Tidak, aku telah kehilangan nenekku. Aku duduk pada sebuah kursi, ah sial, aku tidak dapat melihat penjaga loket yang cantik saat itu.

Aku beranjak dan masih terhuyung, menatap kanan dan kiri berharap nenek hadir kembali disini di tempat sebelum aku meninggalkannya. Aku pindah tempat duduk, bukan, bukan untuk melihat penjaga loket. Aku masih belum sempurna sadar, aku masih melihat kanan dan kiri.

Terlihat seorang anak yang mungkin memiliki gangguan mental sedang mengajak ayahnya bercanda namun terasa memiluhkan. Sang ibu tertawa berkata ke beberapa pasien yang melihatnya. “Lagi pengen diajak bercanda itu.”

Aku melihat ke arah ayahnya, datar, ah, aku tak sanggup melihatnya.

Belum genap kepalaku berputar 180 derajat—tidak persis. Aku melihat seorang anak kecil dengan rambut kusut nan tergerai, memakai jaket olahraga berwarnakan hitam dominan dan garis tipis pink tanpa ekspresi menggandeng seorang ayah yang tunanetra dengan tongkatnya. Tangan kanan gadis itu merangkul erat tangan ayahnya, ia berjalan di depanku tanpa peduli sekitarnya ia terus berjalan.

Aku berdiri, berjalan ke beberapa ruangan mengintip sedikit dari luar, tidak, aku tidak menemukan nenekku. Aku akhirnya memberanikan diri bertanya ke bagian farmasi dimana biasanya aku menunggu atau mengambil obat untuk nenekku. “Ruanga dokter syaraf dimana ya?” tanyaku, tentu saja aku tidak menggodanya hey.

Aku berjalan ke arah kiri, hingga mentok lalu menoleh satu lorong pendek, dan tidak ada tanda-tanda nenekku. Aku tidak menemukannya. Aku memutar balik badanku dan aku melihat penjaga loket itu, ah, sekarang aku sudah tidak tertarik, aku langsung duduk disembarang dan berpikir. Kemana nenekku? Apakah dia sudah pulang terlebih dahulu? Sudah genap 3 jam aku tertidur di masjid, apa iya ia tidak menghampiriku?

Aku terus bertanya-tanya hingga akhirnya suara adzan menggema perlahan merembet dari udara sekitaran masjid dekat rumah sakit hingga menggema masuk ke dalam rumah sakit dan menjalar ke setiap orang yang ada di situ.

Nenekku yang harusnya berobat jam 8, dan sekarang jam 12 aku tidak tahu dia dimana. Aku bertanya-tanya, apakah harus menunggu hingga akhir detik adzan berkumandang? Ah aku terbayang bagaimana jika aku menunggu lalu ditinggalkan?—mungkin ini beda konteks, tapi menyakitkan. Tapi, beberapa kejadian kemarin dan mendengar kisah-kisah kehidupan, aku selalu percaya Allah punya skenario sendiri.

Belum genap detik akhir adzan berkumandang, aku menyerah, aku harus kembali sujud dan bertanya, kemana nenekku? Aku berjalan sedikit tidak terhuyung, hingga aku melewati koridor dengan percaya diri. Aku tiba diluar dan nenekku terlihat keluar dari koridor lainnya.

Aku tersenyum, kami bertemu dengan mesra, di tempat dari jalan yang berbeda, berpasrah diri dan mengharapkan bantuan-Nya ternyata diberikan secepat dan semudah itu. Aku tertawa kecil lalu kita berjalan bersama menuju Masjid itu. Panas saat itu tidaklah terasa, apalagi ketika menjumpai orang yang kita cintai. Alhamdulillah...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

komentar bagi yang perlu