Minggu, 06 Mei 2018

Masih Membayangkan Di Pinggir Jalan

Di bawah rembulan yang setengahnya tersipu malu, aku dan Septian merasakan hal yang sama. Bukan, kita tidak saling mencintai dan layak disebut homo. Kita menyimpulkan sesuatu hal.

"Sekarang karena kerja gue gitu-gitu aja ya makanya gue males nulis, atau karena gue gak nulis jadi ya gue ngerasa gitu gitu aja? Jadi kayak gak ada yang harus diinget untuk ditulis atau hal penting yang ingin ditulis gitu. Kalau nuliskan rasanya harus diinget-inget gitu." Ujar Septian pada intinya seperti itu. hehe.

Aku menyahutinya. "Bener tuh, gue ngerasa kalau gak nulis ya hal detail mana gue perhatiin, yaudah biarin aja berlalu. Tapi, kalau nulis tuh kayak bisa memaknai kejadian-kejadian kecil, jadi kayak hidup tuh semua bener-bener penting. Terkecil sekali pun."

Setelah kita setuju soal menulis itu membuat kita merasakan hal berbeda dalam hidup terutama memperhatikan hal kecil, Septian melanjutkan pikirannya.

"Tapi, gue ngerasa sekarang tuh mau nulis apa-apa takut, bahkan nulis di snapgram pun gue takut, takut dianggap apalah sama orang-orang, jadinya gue urungin deh tekad nulis gue."

Aku tertawa, dilematika zaman now begitulah, terlalu mudah orang menjudge sesuatu, lalu aku teringat dari moto blognya Fitri--rekan kerja di Badr--dan aku sampaikan ke Septian dengan penuh harap.

"Gue juga sama, rasanya kayak dianggap, apasih ini orang gitu banget. Ya gitu, kita udah takut dari bayangan kita terhadap reaksi orang-orang, sampai akhirnya kita membatasi diri dan gak berkembang."

Septian mengangguk setuju.

"Tapi, gue beruntung di kantor..." sambungku. "Banyak yang suka nulis, suka baca, suka gambar sesuai passion gue gitu, dan disana gue mendapatkan banyak hal dalam menikmati dan memaknai apa yang kita suka. Tapi, mungkin ini cocok buat topik kita sekarang, ini dari blognya temen gue di Badr yaitu inti isinya tuh: menulislah, seperti tidak ada seorang yang ngelihatnya/membacanya. Kurang lebih begitulah, dan jadi kebayang kita dulu nulis tuh ya terserah kita asal itu gak negatif buat orang lain jadi yang kayak ini hidup gue, yaudah begini cerita gue, gak perlu dipikirin dulu tuh apa kata orang-orang."

Kita berdua mengangguk dan setuju bahwa pembatas yang selama ini ialah kritik dari orang lain, maka itu harus dihilangkan. Karena kita memang tidak pernah bisa menjadi yang semua harapkan bukan?

Lalu kami memutuskan membeli makan dan aku berharap Septian mau menulis lagi. Satu hal yang aku terkejut dari dulu adalah, Septian lebih suka baca dibanding aku, bahkan soal novel Tere Liye dia udah hatam semuanya kayaknya, aku baca satu aja bisa setengah tahun :(

Btw, kredit buat Fitri karena ketika iseng baca blognya membuat aku merasa semakin semangat nulis lagi setelah sekian lama membeku, karena ternyata banyak hal sederhana di kehidupan kita yang sangat indah. Sebenarnya ada beberapa anak-anak yang suka nulis di Badr, tapi belum sempat kujelajahi. Sementara buku Tere Liye yang aku pinjam dari Septian belom kelar-kelar setelah sudah setengah tahun lamanya. Maafkan Sep...

2 komentar:

  1. Tengkyu loh mi. Btw kadang aku juga ngerasa ini apaan banget ya aku nulis gini, bisa bikin orang khawatir atau apapun. Tapi setelah brpikir mau ngapus tulisan yg kayak gitu, kalimatmu yang


    "Bener tuh, gue ngerasa kalau gak nulis ya hal detail mana gue perhatiin, yaudah biarin aja berlalu. Tapi, kalau nulis tuh kayak bisa memaknai kejadian-kejadian kecil, jadi kayak hidup tuh semua bener-bener penting. Terkecil sekali pun."

    bikin aku berpikir ulang dan yaudah membiarkannya gitu aja jadi salah satu tahap fase kehidupan.

    trims juga sharingnya (y)

    BalasHapus
  2. @fitri sama-sama fit~,

    haha, iya jangan dihapus fit, kadang tulisan kayak gitu kalau dibaca ulang bikin kangen dan lucu sih haha.

    trims juga fit! Ditunggu tulisan dongeng anaknya fit (y)

    BalasHapus

komentar bagi yang perlu