Sabtu, 05 Mei 2018

Sebel-sebel-sebel

Seperti sajak-sajak, mentari mulai merekah dari ufuk timur.

Aku terjaga selama 24 jam, hari itu adalah jum’at aku masih di luar hingga sabtu pagi dan matahari terbit lagi. Aku sengaja tidak pulang ke rumah untuk terlelap disana, aku merasakan rasa malas karena harus berebutan kamar bahkan kasur dengan tante dan sepupuku, hingga aku memutuskan terjaga hingga subuh.

Subuh, petualangan setiap bulanku dimulai, sungguh menyedihkan, menjelang pagi, nenek-nenek atau kakek-kakek harus rela mengantri untuk berobat menggunakan bpjs, itu pun hanya untuk mengambil antrian saja, berobatnya bisa jadi siang atau sore.

Disitu, antrian sudah berbaris panjang, membosankan bukan? Tidak ada yang gembira dengan mengantri, kecuali mengantri ke surga mungkin (?) ya aku ikut rombongan antrian cukup panjang itu, kami menunggu dipagi yang masih gelap bahkan orang mungkin masih terlelap.

Diluar sistem yang aneh dan menyusahkan ini, aku merasakan perihnya mengantri apalagi di Indonesia ini kurasa, entah diluar seperti ini atau tidak. Terkadang aku merasa iba dengan kakek-kakek dan nenek-nenek yang mengantri, tapi, rasanya jika mereka menyelak antrian dengan berpura-pura kelelahan—atau mungkin emang kelalahan?—entahlah tapi itu membuat kami merungut dan tak sedikit orang ingin berkata padanya. “Sudah tua gak tahu diri, harusnya mengantri dengan adil.”

Saat itu, seorang kakek melenggang dengan terpincang, awalnya aku merasa iba, aku pikir dia akan duduk sejenak lalu kembali ke antrian. Namun, ketika aku masih mendengar perbincangan orang lain, lantas saja kakek itu maju ke meja terdepan untuk mengambil antrian pendaftaran berobat, dan, itu, membuatku kehilangan rasa ibaku.

Sungguh, tidak seperti itu caranya. Aku pikir izin adalah lebih baik, atau minimal duduk dan menitipkan antriannya, tidak dengan menyelak begitu saja, entahlah, dari sudut pandangku yang berada diantrian, itu sangatlah menyebalkan.

Antrian begitu panjang, hingga akhirnya aku mendapatkan nomorku, 57, ya, itu masih setengah lagi, antrian yang berlangsung adalah 25-an, aku yang belum terlelap sejentik pun berusaha bertahan, aku membaca novel, tapi malah semakin kantuk, ponselku mati tak berdaya, aku rebahan sejenak yang aku pikir masih lama.

Nyatanya, benar saja, aku harus merasakan perih dan penyesalan sendiri, kali ini tak ada yang bisa aku salahkan, tapi aku rasanya ingin terus mengumpat. Antrian yang sudah berlangsung sudah mencapai 75-an, argh, aku gemes, sangat gemes ya Allah, kenapa? Aku lantas berlari ke meja pengambil antrian, dan dapatlah 121. Ya Allah, aku ingin meledak.

Aku gelisah di kursi, ingin marah, tapi aku yang salah, akhirnya aku menyerah dengan keadaan, aku tidak bisa berbuat apa-apa kecuali aku mengubah sudut pandangku. Aku memaksa diriku untuk keluar dari rumah sakit dan pergi ke pasar sukapura—pasar tradisional—yang kebetulan dekat dari rumah sakit islam sukapura.

Sudah berapa lama aku tidak ke pasar tradisional? Aku berkunjung kesana, tak ada tujuan, tak ada pemaknaan, hanya berkunjung. Tapi beruntung aku sudah merencanakan beberapa barang yang ingin dibeli dan akhirnya aku membelinya disana. Ya aku jalan-jalan, rasanya sungguh nikmat, tidak mengerti bagaimana bisa terasa nikmat, tapi aku merasakan kegelisahan akibat ketiduran itu hilang sesaat.

Setelah aku berjalan-jalan, aku kembali ke rumah sakit dengan beberapa belanjaan seperti hanger, celana pendek basket, dan es cendol. Aku menikmati semilir angin di lobi rumah sakit dengan meminum es cendol, nikmat itu sederhana bukan? Apalagi sambil membayangkan sudah berumah tangga... ah betapa lucunya, mungkin.

Lalu akhirnya aku maju ke meja pendaftaran berobat, namun ternyata ada berkas yang kurang, aku nahan emosi, aku perhatikan baik-baik, beruntung tidak disuruh pulang, aku pergi ke kamar 3 untuk meminta surat lalu memfotokopinya, namun, aku tidak mengerti, kenapa kita terlalu egois sekali? Seakaan kita yang paling tidak punya waktu?

Lagi, aku yang mengantri untuk fotokopi terlebih dahulu, harus menahan emosi lagi ketika aku diselak. Kronologisnya adalah dimana sang penjaga fotokopi sedang keluar, aku mengantri dengan duduk agak ke belakang, aku pikir orang pertama kali datang paham antriannya sehabis dia adalah aku, tapi tiba-tiba penjaga fotokopi datang dan mereka seolah mengulang antriannya, dan aku tak tahu, apa aku yang salah? Apa aku terlalu optimis untuk memahami keadaan bahwa aku mengantri kedua?

Yasudah, aku meyakini, beginilah memang aku harus mengerti orang lain, mungkin bisa jadi selama ini aku bertindak seperti mereka dan banyak orang terdzalimi tanpa aku ketahui, astagfirullah. Mungkin itu balasan oleh Allah untuk menyadarkanku akan tindakan kita bisa jadi tanpa sengaja mendzalimi orang lain? Seperti beberapa hari ini aku kembali merasa suka berkata menyakitkan orang lain walau niatku bercanda, apakah ini yang dirasakan mereka yang sering aku bercandai tapi nyatanya menyakiti? Semoga Allah dan mereka memaafkan kesalahanku. :(

Selepas semua mengantri itu dari kesalip, ketiduran, kesalip lagi, akhirnya nenekku bisa berobat buat nanti siang, Alhamdulillah, walau ternyata aku memfotokopinya begitu banyak padahal yang dibutuhkan hanya satu kopian, hmm, aku harus bersabar, mungkin aku harus lebih bijak dan mau mendengarkan seksama perkataan orang lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

komentar bagi yang perlu