Rabu, 15 Agustus 2018

Hal Sederhana

Apa yang membuatmu bahagia?
Jika bicara dunia, aku bisa menggambar dan menulis, dan mengeluarkan semua dikepalaku, aku merasa bahagia.

Dan apa-apa yang kutulis diatas adalah apa-apa yang membuatku merasa dunia ini tak seburuk apa-apa yang diberitakan.

Menyukai hal-hal sederhana menurutku penting, agar bisa menaikan mood setiap hari. Ada pelarian yang bisa disinggahi jika jenuh dengan apa-apa yang menjadi rutinitas. Lalu bagaimana jika semua itu rutinitas? Terkadang ada masa jenuhnya, terkadang beralih sedikit, biasa desain tampilan aplikasi, lalu nge-doodle gambar orang rasanya sangat membahagiakan.

Aku suka sesuatu yang terbentuk, dapat dinikmati langsung. Dan ketika orang lain menikmatinya juga, bagiku, itu sudah cukup membuat bibirku tersimpul senyum tiada tara.

Seperti apa yang di update oleh Bang Bilal di Story Instagramnya, dia mengutip tulisan dari blog kak @helloditta.

"Gambar jadi salah satu terapi agar tetap saya tetap waras di padatnya kesibukan yang engga seberapa ini."

Dan aku sadar, semua sudah berubah ketika bermain sosial media terasa amat menyenangkan, berjam-jam tapi tak ada hasil yang kudapat, tak ada rasa kepuasan, bahkan rasanya selalu menyesal. Wahai waktuku, kenapa engkau tergerus begitu saja seperti jentikan Thanos kepada para Avengers?

Semakin sering aku menjadi konsumen sosial media, rasanya kepalaku semakin berpikir. Dunia ini menjijikkan. Disitu juga aku merasa imajinasiku mulai terkekang. Apalagi pada zaman ini siapa pun ingin menjadi viral, dan menyedihkannya viralnya itu adalah hal-hal yang tidak berfaedah atau bukan hal yang dulu tuh pasti yang bikin berdecak kagum atau semacamnya, sekarang terlalu banyak drama di keseharian kita.

Kemarin, ketika sesi sharing kantor tentang jati diri, aku ingin bertanya tapi tertahan. Jika bakat itu mendesak jiwa untuk ingin disalurkan, bagaimana jika bakat itu terkekang? Apa yang dirasa? Apa yang harus dilakukan? Sementara rasanya panggilan jiwa itu ingin memberontak apa-apa yang menghalangi.

Tapi karena aku urung, kutidak tahu jawabannya.

Terpasti, kubersyukur masih bisa melakukan hal sederhana yang membuatku bahagia, bahkan kadang tidak sadar aku bahagia. Semoga aku bisa menemukan bakat hebat anak-anakku nanti, dan membimbingnya melewati 10 ribu jam. Rasanya bakat dicampur rasa profesionalisme itu sungguh luar biasa. Dan mereka harus lebih bersyukur dari orang selain mereka untuk itu.

***

Catatan ini sebagai pengingat pribadi, bahwa aku harus mengurangi jadi konsumen drama-drama sosial media dan kembali menuangkan hal sederhana itu dan menikmatinya.

Mengingatkan juga, bahwa sampai ajal tiba, menulis adalah keharusan. Menulis bermanfaat sebuah kewajiban. Agar mereka-mereka tahu aku telah hidup dan berguna hehe

Sekian bicara duniawinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

komentar bagi yang perlu