Sabtu, 15 September 2018

Kooperatif

Kooperatif.

Menurunkan ego, Berkomunikasi, Menyelesaikan Masalah.

*

Kenapa sih kita harus berselisih? Semua beranjak dari latar belakang atau inputan kita selama ini, kita punya konsentrasi masing-masing yang terus kita perjuangkan, hingga akhirnya kita melupakan soal masalah yang harus diselesaikan, dan jadilah perselisihan itu.

Hingga akhirnya aku merasakan, belakangan ini, seolah di dua lingkungan utamaku--rumah dan kantor--sangatlah kooperatif sekali, kita tahu, kita selalu punya masalah yang harus diselesaikan, dan kita tidak bisa berjalan sendirian, terlebih kita tidak bisa terus beranggapan jalan kita adalah jalan terbaik untuk menyelesaikan masalah ini (bicara lain soal jalan berlandasan Islam, itu mutlak benarnya ya!), hingga akhirnya kita menahan, setiap ego yang ingin dilampiaskan, dan kita harus saling mendengarkan.

Di rumah, ada tiga orang, aku, umi dan abi. Ketiganya punya kesibukan masing-masing, bahkan waktu kumpul pun cuman selepas subuh. Hingga akhirnya, di akhir pekan ini, kita bertiga ada kesibukan yang saling bersangkutan. Aku yang biasanya mengantri dan mengantar nenek ke rumah sakit, tapi harus tetap mengikuti aktivitas rutin yang biasa bareng umi, sedangkan umi harus pergi ke cirebon pagi ini, dan abi harus berobat siang ini.

Semua sibuk, hingga akhirnya semua menurunkan ego, kita diskusi bagaimana enaknya? Pertama, umi pasti ke Cirebon, dan aku nggak boleh bolos, Abi harus tetep berobat. Oke, akhirnya abi mengalah, abi yang ngantri dan nganter nenek ke rumah sakit agar aku tetep masuk. Dan aku harus nganter umiku ke sekolahnya agar tidak ketinggalan untuk pergi ke cirebon.

Tidak semudah yang dipikir, pertama kita harus bangun lebih pagi semua, sempat aku ingin mengeluh karena masih ngantuk dan tidak tahu jalan menuju tempat aktivitasku jika dari sekolah umiku, tapi ada orang lain yang bergantung kepadaku, jika aku memaksa egoku untuk tidur lebih lama sedikit aja atau berlasan gak tahu jalan ke tempat aktivitasku, bisa jadi umi ketinggalan rombongan. Sedangkan abi juga harus lebih dulu berangkat ke Jakarta agar dapat nomor antrian dan dokter yang diinginkan. Jika terlewat saja, bisa jadi nenekku tidak jadi berobat. Dengan nenek tidak berobat mungkin saja banyak mudarat yang terjadi lagi. Semua terhubung.

Akhirnya kita berangkat, kurang lebih jam 4 kurang, di tengah gelapnya dan dinginnya pagi, aku terus menahan-nahan, rasanya dingin sekali, jika bukan atas izin Allah, biasanya perut udah sakit. Aku sama umi sudah tiba di sekolahan. Tapi, ternyata umi pakai helm juga. Karena biasanya kalau nganter umi, umi suka gak pake helm, dan kalau bawa helm dua itu meribetkan, karena dashboard motor bebek tidak seenak matik, aku sempat mengerutkan keningku dan rasanya kesal. 

Kenapa harus bawa helm dua? Kan pagi-pagi gini, gak ada polisi juga? Biasanya juga gak bawa helmkan? Benakku. Tapi aku hanya bertanya, "Ngapain bawa helm dua mi? Kan susah bawanya Hilmy."

Lalu umi menjelaskan. "Umi nggak kuat anginnya dingin nanti kena kepala jadi masuk angin." Aku langsung diem, aku merasa bersalah detik itu juga, toh cuman helm doang, yang pada akhirnya tidak ada masalah sama sekali selama perjalanan kemana-mana.

Setelah itu, misi mengantar umi kelar, dan aku melanjutkan perjalanan yang sebenarnya tidak tahu kemana harus berjalan, walau abi menjelaskan sedikit, tapi rasanya masih ada kesal aja, tapi akhirnya sampai pada tempat tanpa nyasar, misi sampai lokasi pun selesai, tanpa masalah.

Begitu pun abi, akhirnya berhasil mengantri untuk nenek ke rumah sakit. Dan siangnya bisa pergi ke berobat. Dan alhamdulillah, semua selesai.

Menurunkan ego.

Sedangkan, jauh dari rumah, sekitar 24 kilometer, kantorku. Aku merasakan hal yang sama, ada yang berbeda belakangan ini. Belakangan ini, di tim, kita lebih intens diskusi, walau suka ada perubahan setiap diskusi, tapi disini, kita menahan ego, mencoba mendengarkan, dan menyampaikan konsentrasi masing-masing.

Tak sedikit terlihat wajah yang menahan egonya, dan itu membuatku tersanjung. Dulu, mungkin, ini yang aku rasakan, kita seolah berjalan masing-masing, kita punya konsentrasi masing-masing yang perlu dikedepankan, hingga akhirnya kita saling memberatkan satu sama lain, terlebih dari aku, aku merasa sangat sering memberatkan yang lain.

Tapi belakangan ini, kita lebih sering komunikasi, dan saling mengingatkan hal-hal yang perlu diperhatikan. Rasanya seperti kita tahu sama-sama tujuan akhir, dan kita perlu saling membantu, terkadang beberapa orang memberikan saran desain untukku. Pernah satu waktu aku hingga menghela napas melihat feedback desain, rasanya saat itu malas sekali bertemu orangnya dan merubah banyak desainku, tapi saat itu pikiranku adalah, omongkan saja dulu. Kita tahu tujuan akhir yang sama, dan Alhamdulillah semua terselesaikan dengan baik.

Tahannya perkara desain, beberapa orang juga memberikan saran algoritma ke teman lainnya, dan banyak lagi. Bahkan aku sempat memberikan saran untuk sebuah template codingan include desain, dan responnya sangat-sangat positif, saat itu juga aku merasa hidupku benar-benar berguna hehe... 

Walau terkadang ada perubahan secepat kilat, tapi kita tahu, ini yang perlu kita lakukan agar semua pekerjaan ini segera selesai dengan baik. Tapi tetap saja, kita tidak bisa seenaknya mengubah-ubah.

Dan saat itu pun aku merasa sedang banyak belajar, belajar bagaimana mendengarkan dan memikirkan orang lain. Mungkin selama ini idealismeku membuat orang lain jengkel.

Masalah.

Mungkin, jika memang tujuan kita adalah menyelesaikan masalah, kekacauan di dunia politik saat ini gak semenjijikan saat ini. Kenapa harus politik? Jika memang ingin negara ini damai dan segala masalah terselesaikan, bukannya seharusnya kita saling mendengarkan dan bekerja sama? Bukan saling menjatuhkan dan menjelek-jelekkan? Bukankah kita harus memikirkan apa solusinya? Bukan berebutan kekuasaan lalu melupakan masalah untuk sebuah pencitraan "terlihat bagus"?

Aku selalu bertanya-tanya, apakah benar-benar mereka yang sedang bertarung ini ingin menyelesaikan masalah? Atau hanya ingin kenikmatan berkuasa? Lantas buat apa uang bermiliyar bahkan triliun hanya untuk menentukan kepala daerah dan lainnya. Padahal jika uang itu digunakan untuk menyelesaikan masalah misal dengan membuka sebuah peluang usaha atau semacamnya, bukankah itu setidaknya tindakan konkret untuk menyelesaikan masalah negara ini yang salah satunya hutang?

Begitupun dengan kenapa kita harus impor jika kita sama-sama berjuang mengolah yang ada untuk selayak bahkan lebih baik dari barang-barang yang harus kita impor? Kenapa kita tidak berusaha untuk membuat bukan untuk membeli? Kenapa kita harus memakan buatan orang, kenapa kita tidak bisa memakan buatan sendiri?

Bicara menghabiskan uang, bagaimana kita dengan mudah menghabiskan uang untuk pembukaan asian games hanya biar terlihat wah, sementara masalah utama saat itu diantaranya adalah bencana dan hutang yang harus? Bukan, bukan berarti kita tidak boleh memberi sambutan meriah. Tapi, ini menyangkut hidup dan harap jutaan orang bukan?

Jika mereka-mereka ingin masalah ini selesai, seharusnya mereka berpikir jalan keluar bersama. Setidaknya itu menurutku.

Aku sering dengar, mungkin kita bisa bersatu jika sudah punya musuh bersama.

Masalah ini tidak akan berakhir, jika kita semua sibuk menunjukkan, aku adalah pahlawannya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

komentar bagi yang perlu