Yaa Bunayya.
:)
Senin, 27 Mei 2019
Sabtu, 25 Mei 2019
Kata-Kata tak Bertujuan
Kata-kata tak bertuan
Kata-kata tak bertujuan
Salah satu paling menakutkan adalah kata-kata tak bertujuan. Terkadang bingung, apakah itu untuk kita atau tidak? Apakah kita seperti apa yang kata-kata tak bertuju itu bilang atau tidak? Kata-kata tak bertujuan sungguh meresahkan.
Bukan tak ada tujuan ku berkata seperti ini. Banyak sekali dari kata-kata tak bertujuan terbesit keraguan dan ketakutan. Terkadang dalam hati bertanya-tanya. Ini untukku? Ini aku seperti itu? Aku harus bagaimana? Sepertinya sedang ada yang salah.
Itu pun berkaitan dengan postinganku sebelum ini. Atau mungkin beberapa postingan yang serupa tapi beda cerita. Mungkin sebenarnya ingin dituju, tapi tak mampu tertuju. Atau mungkin juga hanya luapan emosi belaka, tapi apa daya, tak ada tempat untuk bercerita. Di sinilah aku berkata-kata.
Bukan tanpa sebab, walau mungkin juga memang tidak menyelesaikan apa-apa. Kata-kata yang terbesit di kepala lantas aku tuangkan dalam cerita, atau potongan kalimat, atau banyak lagi yang membuatku sedikit tenang. Percayalah, aku terkadang kesulitan menyimpan semua pikiran itu di kepala.
Namun, sepertinya aku harus belajar dari postingan sebelum ini. Mungkin itu adalah kata-kata yang cukup sensitif. Percaya atau keyakinan adalah pondisi dari banyak hal, bahkan segala hal. Termasuk pondasi utama dalam beragama. Sehingga kata-kata tak bertujuan itu meresahkan banyak pembaca, mungkin kamu termasuk juga.
Maka dari itu aku meminta maaf sebesar-besarnya atas kata-kata yang tak bertujuan itu. Walau kupikir itu hanya lintasan kepala, atau mungkin sebenarnya kumpulan dari beberapa masalah belakangan ini, atau banyak lagi yang tak sanggup aku bendung.
Tapi, apa daya, daripada merugikan atau membuat masalah yang tak perlu. Izinkan aku meminta maaf dan menarik kata-kata soal percaya itu. Aku hanya sedang tak percaya diri, aku tahu kepercayaan itu naik turun. Tidak selamanya kita bisa percaya banget, tak selamanya kita tidak selalu percaya. Mungkin aku harus menyelesaikannya sendiri.
Terima kasih yang sudah mau membaca blog ini selama ini, aku senang bisa berbagi di sini, entah kisah bahagia atau sedih. Entah itu bermanfaat atau tidak. Terkadang aku berusaha tidak peduli apa esensi apa yang menarik, karena saat aku berusaha, aku merasa untuk itu, rasanya aku terlalu tidak menjadi diri sendiri.
Sekali lagi, di sini, aku hanya ingin menjadi diriku sendiri. Walau tak semua bisa aku ceritai. Semoga kita terus bisa menjadi lebih baik ke depannya.
Ah tentu saja, aku akan berhenti membuat kata-kata tak bertujuan yang merasahkan. Kita semua past ingin sesuatu kejelasan bukan? Terima kasih atas pelajarannya kali ini, teman-teman.
Cheers. :D
Selamat berjuang di sepuluh malam terakhir Ramadhan :)
Kata-kata tak bertujuan
Salah satu paling menakutkan adalah kata-kata tak bertujuan. Terkadang bingung, apakah itu untuk kita atau tidak? Apakah kita seperti apa yang kata-kata tak bertuju itu bilang atau tidak? Kata-kata tak bertujuan sungguh meresahkan.
Bukan tak ada tujuan ku berkata seperti ini. Banyak sekali dari kata-kata tak bertujuan terbesit keraguan dan ketakutan. Terkadang dalam hati bertanya-tanya. Ini untukku? Ini aku seperti itu? Aku harus bagaimana? Sepertinya sedang ada yang salah.
Itu pun berkaitan dengan postinganku sebelum ini. Atau mungkin beberapa postingan yang serupa tapi beda cerita. Mungkin sebenarnya ingin dituju, tapi tak mampu tertuju. Atau mungkin juga hanya luapan emosi belaka, tapi apa daya, tak ada tempat untuk bercerita. Di sinilah aku berkata-kata.
Bukan tanpa sebab, walau mungkin juga memang tidak menyelesaikan apa-apa. Kata-kata yang terbesit di kepala lantas aku tuangkan dalam cerita, atau potongan kalimat, atau banyak lagi yang membuatku sedikit tenang. Percayalah, aku terkadang kesulitan menyimpan semua pikiran itu di kepala.
Namun, sepertinya aku harus belajar dari postingan sebelum ini. Mungkin itu adalah kata-kata yang cukup sensitif. Percaya atau keyakinan adalah pondisi dari banyak hal, bahkan segala hal. Termasuk pondasi utama dalam beragama. Sehingga kata-kata tak bertujuan itu meresahkan banyak pembaca, mungkin kamu termasuk juga.
Maka dari itu aku meminta maaf sebesar-besarnya atas kata-kata yang tak bertujuan itu. Walau kupikir itu hanya lintasan kepala, atau mungkin sebenarnya kumpulan dari beberapa masalah belakangan ini, atau banyak lagi yang tak sanggup aku bendung.
Tapi, apa daya, daripada merugikan atau membuat masalah yang tak perlu. Izinkan aku meminta maaf dan menarik kata-kata soal percaya itu. Aku hanya sedang tak percaya diri, aku tahu kepercayaan itu naik turun. Tidak selamanya kita bisa percaya banget, tak selamanya kita tidak selalu percaya. Mungkin aku harus menyelesaikannya sendiri.
Terima kasih yang sudah mau membaca blog ini selama ini, aku senang bisa berbagi di sini, entah kisah bahagia atau sedih. Entah itu bermanfaat atau tidak. Terkadang aku berusaha tidak peduli apa esensi apa yang menarik, karena saat aku berusaha, aku merasa untuk itu, rasanya aku terlalu tidak menjadi diri sendiri.
Sekali lagi, di sini, aku hanya ingin menjadi diriku sendiri. Walau tak semua bisa aku ceritai. Semoga kita terus bisa menjadi lebih baik ke depannya.
Ah tentu saja, aku akan berhenti membuat kata-kata tak bertujuan yang merasahkan. Kita semua past ingin sesuatu kejelasan bukan? Terima kasih atas pelajarannya kali ini, teman-teman.
Cheers. :D
Selamat berjuang di sepuluh malam terakhir Ramadhan :)
Jumat, 24 Mei 2019
Simpel
Jika kamu tidak percaya aku, aku tidak akan repot-repot membuatmu percaya.
Dan... Aku pun tidak percaya dengan dirimu.
Bahkan, aku pun sudah tidak peduli lagi.
Dan... Aku pun tidak percaya dengan dirimu.
Bahkan, aku pun sudah tidak peduli lagi.
Rabu, 22 Mei 2019
Hello Panda
Saat file pekerjaan tidak bisa ke load. Ku hanya bisa duduk di ruang tengah, mendengar suara sayu-sayu di sekelilingku berada. Mendengar pasutri yang baru menikah beberapa minggu lalu dengan obrolan-obrolannya. Melihat seorang pejuang yang merupakan pendiri kantor yang bekerja selalu sendirian. Mendengar rapat-rapat yang tengah berjalan. Lalu lampu, eh maksudku lsitrik mati dan semua ber-"yaah". Semua pun berhamburan, eh gak semua sih hanya sebagian. Jadi listriknya tuh mati hanya di beberapa tempat aja, karena beda alur listrik gitu.
Pas ku tanya teman yang gunakan aplikasi yang sama, ternyata dia juga bermasalah. Aku sudah dua jam menunggu filenya terbuka, tapi belum juga. Ku lelah? Tidak sih, ku hilir mudik mencari cahaya haha. Tapi cahayanya tidak ada, ya tak apa, akhirnya bosan dan menulis ini saja. Walau harusnya diskusi, tapi karena belom ke load, sekali lagi jadinya tertunda deh.
Terus sekarang ketagihan nanyi hello panda deh walau lupa liriknya
Pas ku tanya teman yang gunakan aplikasi yang sama, ternyata dia juga bermasalah. Aku sudah dua jam menunggu filenya terbuka, tapi belum juga. Ku lelah? Tidak sih, ku hilir mudik mencari cahaya haha. Tapi cahayanya tidak ada, ya tak apa, akhirnya bosan dan menulis ini saja. Walau harusnya diskusi, tapi karena belom ke load, sekali lagi jadinya tertunda deh.
Terus sekarang ketagihan nanyi hello panda deh walau lupa liriknya
Selasa, 21 Mei 2019
Bapak-Bapak
Aku tidak pernah kepikiran untuk nimbrung ke aliansi bapak-bapak secepat ini. Tiba-tiba ditunjuk untuk bantu-bantu, aku hanya bisa pasrah dan sembari penasaran, bagaimana sih atmosfer diskusi dengan bapak-bapak?
Sejauh ini, ku hanya menunggu, menahan-nahan jika ingin bersuara. Bahkan terbilang, ngikut aja deh. Aku paling menimpal satu dua yang mungkin tidak terlalu penting atau signifikan. Biasanya yang aku tahu, terkadang orang berumur itu memiliki ego sendiri terhadap yang lebih muda.
Aku pun sempat pesimis akan beberapa rencana barang bapak-bapak ini, tapi Alhamdulillah, ternyata track record rencananya cukup bagus dan akhirnya tahun ini berjalan dengan baik. Walau sempat ada beberapa permasalahan kecil, tapi aku bersyukur tanggung jawabku telah tuntas. Lega~
Ku pikir, semakin kita tua, akan berjalan lurus semakin dewasa. Rupanya, tidak semudah itu. Terlalu banyak intrik yang berkerja. Seperti ego, tujuan, politik, dan ah banyak lagi. Ketika bulan puasa berjalan beberapa hari, aku dijegat selepas shubuh untuk ikut rapat oleh bapak-bapak.
Aku pikir ini hanya membahas tentang kegiatan selama ramadhan saja, tapi tidak. Pembicaraan berlangsung intens hingga jam 7 tiba. Awalnya memang membahas tentang kegiatan ramadhan, lalu kemudian pembahasan permasalahan DKM dengan RT setempat.
Aku mengernyitkan dahi ketika membaca surat dari RT untuk DKM. Intinya ketua DKM disuruh mundur dan kepengurusan DKM diberikan dibawah RT. Aku bertanya, kok semudah itu ya? Kenapa sih sebenarnya?
Aku tidak tahu dari mana sumbu itu berasal, yang ku tahu hanya pemicunya saja. Jadi saat itu DKM sedang menyiasatkan untuk gotong royong di sekitaran musholla, sementara itu ada acara rutin dari RT untuk senam. Rupanya terjadi bentrok disana, masalahnya timbul dari pengeras suara yang bentrok antara musholla dan senam.
Dari situ hingga akhirnya rapat RT diadakan dan keluar surat untuk DKM seperti yang ku sebut diatas. Aku pikir ini hanya masalah komunikasi, masalah saling support, masalah pembagian waktu. Namun, rupanya tidak.
Mediasi dilakukan, ah aku tidak tahu persis apa yang terjadi di sana. Tiba-tiba aku dibilang oleh marbot setempat. "Bapak ketua mundur."
Aku terkejut, masa sih mediasinya tidak berhasil? Kayaknya ini masalah yang sederhana, walau memang tidak mudah. Aku tidak tahu apa yang masing-masing pertahankan hingga akhirnya DKM diambil alih oleh RT dan ketua DKM mundur.
Aku tidak tahu, apa ini sebesar itu permasalahannya? Apa ini tidak berlebihan? Hey, aku pemain baru di sini. Akhirnya setelah malam pengumuman pengunduran diri itu, satu-satu orang di grup WA pada minta maaf dan mengundurkan diri semua. Pada keluar dari grup, aku melihatnya sedih. Baru kemarin aku merasa keberatan dimasukan grup ini, tapi udah dibubari aja.
Terkadang memang kebijaksaan itu adalah menerima. Aku tidak tahu apa yang dirasakan semua dengan hasil mediasi seperti itu. Menerima begitu saja dan membiarkan yang sudah diperjuangkan itu rasanya sulit sekali.
Aku tahu betul bagaimana ketua DKM setiap sehabis shalat selalu ngurus mushollanya. Ngobrol sana-sini. Bahkan tak jarang aku ditelpon untuk urus ini itu. Aku tidak mengerti, sungguh aku benar-benar tak tahu apa-apa kenapa dia harus mundur.
Ada beberapa fakta juga, ternyata musholla didirikan bukan dari tanah wakaf, ternyata dari tanah fasilitas umum. Mungkin itu salah satu permasalahannya. Sempat ada yang serius untuk pindahin mushollanya dengan patungan beli tanah karena daripada menjadi keributan warga.
Ah, tapi aku tetap tidak tahu apa-apa. Mengerikannya juga, ternyata mereka suka sekali terlalu blak-blakan jika bicara. Terkadang aku mikir, apa mereka tidak takut menyakiti lawan bicaranya atau gimana ya?
Ku kira, ketika sudah di era bapak-bapak, semua semudah dengan kebijaksanaan yang ada. Tapi, rupanya, tak bedanya dengan masa remaja atau anak-anak. Satu yang penting. Komunikasi. Itu memang masalah terbesar umat manusia. Entah itu soal kata, intonasi, atau keseluruhan penyampaian atau maksudnya.
Komunikasi adalah kunci. Kata Ka Amri gitu. Hehe
Sejauh ini, ku hanya menunggu, menahan-nahan jika ingin bersuara. Bahkan terbilang, ngikut aja deh. Aku paling menimpal satu dua yang mungkin tidak terlalu penting atau signifikan. Biasanya yang aku tahu, terkadang orang berumur itu memiliki ego sendiri terhadap yang lebih muda.
Aku pun sempat pesimis akan beberapa rencana barang bapak-bapak ini, tapi Alhamdulillah, ternyata track record rencananya cukup bagus dan akhirnya tahun ini berjalan dengan baik. Walau sempat ada beberapa permasalahan kecil, tapi aku bersyukur tanggung jawabku telah tuntas. Lega~
Ku pikir, semakin kita tua, akan berjalan lurus semakin dewasa. Rupanya, tidak semudah itu. Terlalu banyak intrik yang berkerja. Seperti ego, tujuan, politik, dan ah banyak lagi. Ketika bulan puasa berjalan beberapa hari, aku dijegat selepas shubuh untuk ikut rapat oleh bapak-bapak.
Aku pikir ini hanya membahas tentang kegiatan selama ramadhan saja, tapi tidak. Pembicaraan berlangsung intens hingga jam 7 tiba. Awalnya memang membahas tentang kegiatan ramadhan, lalu kemudian pembahasan permasalahan DKM dengan RT setempat.
Aku mengernyitkan dahi ketika membaca surat dari RT untuk DKM. Intinya ketua DKM disuruh mundur dan kepengurusan DKM diberikan dibawah RT. Aku bertanya, kok semudah itu ya? Kenapa sih sebenarnya?
Aku tidak tahu dari mana sumbu itu berasal, yang ku tahu hanya pemicunya saja. Jadi saat itu DKM sedang menyiasatkan untuk gotong royong di sekitaran musholla, sementara itu ada acara rutin dari RT untuk senam. Rupanya terjadi bentrok disana, masalahnya timbul dari pengeras suara yang bentrok antara musholla dan senam.
Dari situ hingga akhirnya rapat RT diadakan dan keluar surat untuk DKM seperti yang ku sebut diatas. Aku pikir ini hanya masalah komunikasi, masalah saling support, masalah pembagian waktu. Namun, rupanya tidak.
Mediasi dilakukan, ah aku tidak tahu persis apa yang terjadi di sana. Tiba-tiba aku dibilang oleh marbot setempat. "Bapak ketua mundur."
Aku terkejut, masa sih mediasinya tidak berhasil? Kayaknya ini masalah yang sederhana, walau memang tidak mudah. Aku tidak tahu apa yang masing-masing pertahankan hingga akhirnya DKM diambil alih oleh RT dan ketua DKM mundur.
Aku tidak tahu, apa ini sebesar itu permasalahannya? Apa ini tidak berlebihan? Hey, aku pemain baru di sini. Akhirnya setelah malam pengumuman pengunduran diri itu, satu-satu orang di grup WA pada minta maaf dan mengundurkan diri semua. Pada keluar dari grup, aku melihatnya sedih. Baru kemarin aku merasa keberatan dimasukan grup ini, tapi udah dibubari aja.
Terkadang memang kebijaksaan itu adalah menerima. Aku tidak tahu apa yang dirasakan semua dengan hasil mediasi seperti itu. Menerima begitu saja dan membiarkan yang sudah diperjuangkan itu rasanya sulit sekali.
Aku tahu betul bagaimana ketua DKM setiap sehabis shalat selalu ngurus mushollanya. Ngobrol sana-sini. Bahkan tak jarang aku ditelpon untuk urus ini itu. Aku tidak mengerti, sungguh aku benar-benar tak tahu apa-apa kenapa dia harus mundur.
Ada beberapa fakta juga, ternyata musholla didirikan bukan dari tanah wakaf, ternyata dari tanah fasilitas umum. Mungkin itu salah satu permasalahannya. Sempat ada yang serius untuk pindahin mushollanya dengan patungan beli tanah karena daripada menjadi keributan warga.
Ah, tapi aku tetap tidak tahu apa-apa. Mengerikannya juga, ternyata mereka suka sekali terlalu blak-blakan jika bicara. Terkadang aku mikir, apa mereka tidak takut menyakiti lawan bicaranya atau gimana ya?
Ku kira, ketika sudah di era bapak-bapak, semua semudah dengan kebijaksanaan yang ada. Tapi, rupanya, tak bedanya dengan masa remaja atau anak-anak. Satu yang penting. Komunikasi. Itu memang masalah terbesar umat manusia. Entah itu soal kata, intonasi, atau keseluruhan penyampaian atau maksudnya.
Komunikasi adalah kunci. Kata Ka Amri gitu. Hehe
Pelataran Depan Masjid
Setiap ke Masjid Al Fauzien (dekat kantor) pasti aku melewati sebuah lemari tinggi yang isinya beberapa buku-buku. Dari buku anak hingga buku umum ada di sana. Aku selalu terpaku dengan buknya Sri Izzati yang dirumah ku juga punya, adek ku lebih tepatnya yang mempunyainya.
Setiap lewat lemari itu, aku selalu melihat lemari itu tertutup dengan pintu kaca dan sepertinya jarang dibuka. Aku pun berpikir, apakah ada yang baca buku dari lemari ini? Aku sebagai tipikal yang tidak terlalu suka baca buku (walau tetap ku upayakan) rasanya pesimis sekali melihat lemari yang berletak di sudut masjid dekat bedug yang mungkin hanya terlihat sepintas oleh orang lalu lalang saja.
Aku tidak tahu jawabannya, aku belum pernah ngeh atau melihat orang membaca buku dari sana atau semacamnya. Tak hanya di Al Fauzien, di tempat umum yang menempatkan rak buku di salah satu sisinya juga membuatku bertanya, memangnya ada yang baca?
Bukan karena sudut pandangku saja, tapi memang masyarakat Indonesia memiliki tingkat baca yang cukup rendah, salah satu penyumbangnya aku hehe. Jadi aku selalu bertanya setiap ada orang-orang menyajikan buku-buku di tengah hiruk pikuk per-gadget-an ini.
Saat aku pulang ke kampung halaman (sebenarnya masih kota), oke kayaknya penamaan kampung halaman terlalu berlebihan. Saat aku main ke daerah kecilku, aku tiba di masjid yang dulu sering ku singgahi untuk beribadah. Walau dulu mah jarang sekali ya... Hehe.
Di masjid itu, tepatnya pelataran depan masjid terdapat kulkas yang berisi air-air gratis untuk siapa saja yang datang. Lalu di sebelahnya ada dua rak buku yang memanjang. Bukunya pun beragam, tak jauh beda sepertinya dengan Al Fauzien. Beberapa kali aku ke masjid dan melewatinya itu, aku kembali bertanya, memangnya ada yang baca?
Bedanya dengan masjid Al Fauzien, masjid ini menempatkannya sangat gamblang di pelataran depan masjid yang cukup luas. Jadi orang mungkin bisa bersantai di pelataran sambil membaca buku dengan angin sepoi-sepoi kalau siang. Tapi tetap, aku pesimis akan tempat buku itu ramai pengunjung, bahkan untuk ada pengunjungnya aja sudah keren bangetlah.
Akhirnya malam tiba, aku pertama kali taraweh di situ pada bulan ini. Seperti biasa, shalat isya berjamaah, lalu jeda ceramah sebelum tiba di shalat tarawehnya. Aku selalu ingat dulu saat ceramah memang saat yang tepat untuk keluar masjid untuk main atau kumpul atau jajan bareng teman-teman.
Dulu, terkadang sampai main benteng-bentengan, petak jongkok, atau mainan sarung saling gebok (tapi ini sakit, jangan diikutin ya). Pokoknya selama ceramah berlangsung asyik banget untuk kumpul. Apalagikan kalau bukan bulan ramadhan biasanya malam hari nggak boleh keluar rumah. Jadinya rasanya bisa main malam setiap hari adalah kesenangan sendiri.
Itulah ingatanku ketika ceramah. Sekarang pun ketika ceramah anak-anak berhamburan keluar. Itu sudah lazim, aku pun tidak terlalu acuh terhadap itu. Aku mendengarkan ceramah saat itu yang cukup asyik. Saat mendengarkan aku tidak sengaja melihat ke arah luar, ke arah pelataran depan masjid. Aku pun terkejut, lho kok ramai sama anak-anak, aku mendongak sedikit untuk melihat lebih jelas. Akhirnya aku mendapati anak-anak asyik ambil buku-buku di rak pelataran depan masjid.
Setelah mengambil beberapa buku, mereka lihat ramai-ramai buku itu, terus gantian orang, gantian buku, terus ambil buku yang lain lagi. Intinya mereka sibuk mengerubungi buku-buku. Aku hanya bisa tersenyum, ternyata aku salah menebak. Ternyata rak-rak buku disana bisa mengalihkan anak-anak dari main sembarangan menjadi melihat-lihat buku.
Aku tak tahu, apa mereka memang orang yang suka buku. Tapi, bisa mentrigger anak untuk baca buku tanpa disuruh-- kesadaran diri--itu sesuatu yang luar biasa. Mungkin tinggal bagaimana meningkatkan engagementnya saja ya. Bisa dengan buku yang lebih menarik atau banyak. Ya, semoga aja ini awal cikal bakal mereka jadi gemar membaca buku agar tidak seperti diriku hehe.
Memang, tidak ada yang pernah tahu usaha seseorang tuh. Aku yang sudah pesimis pun dibuat terkejut. Kalau lagi terngiang sekarang tuh, tugas kita mah ya ikhtiar aja, kalau hasilnya itu udah bukan urusan kita lagi.
Mungkin dari sini, ku harus agak optimis terhadap hal-hal sederhana ini.
Memetakan
Begini rupanya, haha, ku mau ketawa sendiri. Ada hal yang terkadang sulit sekali diungkapkan, sampai harus muter-muter kemana dulu. Sampai harus bingung dan bengong dulu akan apa yang sebenarnya terjadi.
Sebenarnya sesederhana ini. Masalah jarak yang tak pernah sejalan, suara yang tidak saling menyahut. Sesederhana itu. Tapi, rasanya amat mengganggu rupanya dan ku masih tidak tahu bagaimana semua itu akan berakhir.
***
Sebenarnya sesederhana ini. Masalah jarak yang tak pernah sejalan, suara yang tidak saling menyahut. Sesederhana itu. Tapi, rasanya amat mengganggu rupanya dan ku masih tidak tahu bagaimana semua itu akan berakhir.
***
Senin, 20 Mei 2019
Temu Keluarga
Kemarin akhirnya ketemu banyak orang yang bernamakan keluarga. Kumpul keluarga dari adik serta kakak dari nenek, bahas hal-hal yang tidak terkordinir, yang mengalir begitu saja.
Hingga akhirnya larut waktu berjalan, sambil makan sambil bersua. Foto-foto adalah penanda puncak pertemuan. Apa zaman memang berlangsung seperti itu? Foto itu penanda sudah ada pertemuan, penanda acara terlah terjadi. Padahal sepanjang pertemuan tidak ada kegiatan yang diagendakan sedemikian rupa, entah itu berbagi cerita secara bergilir atau apalah gitu.
Tapi, ya begitulah, itu sudah berlangsung dari tahun ke tahun. Hmmm... Kalau lihat dari sudut lain, kayaknya bisa berkumpul aja sudah sangat disyukurkan.
Sepanjang pertemuan, terasa sekali hawa-hawa... kasarnya... gengsi. Ya, walau mungkin itu suudzonku saja, tapi kerasa sekali dariku kayak takut dianggap remeh atau dianggap sebelah mata. Ya, tapi sudahlah, ku cerita aja apa ada yang ada setiap pertanyaan yang melayang.
Hingga akhirnya di penghujung pertemuan, terdapat dua kelompok pembicaraan. Aku nimbrung di salah satunya. Lalu umiku tiba-tiba bilang. "Ih, Hilmy nimbrungnya sama cewek-cewek."
Aku kaget, pas lihat sekitar, lho iya aku dibagian kelompok yang isinya emak-emak dan anak-anak cewek semua. Aku mau ketawa jadinya. Tapi aku dibelain, katanya "Nggak apa-apa ngobrol sama cewek-cewek, biar nanti bisa memahami cewek." Dalam hatiku tertawa saja.
Lalu aku akhirnya pindah, ke tempat para cowok-cowok. Obrolannya agak berat, kalau tadi di cewek-cewek ngomongin masa lalu di tempat tinggal mereka, kalau cowok-cowok bahas perkembangan bisnis. Aku hanya mendengar saja, banyak sekali ternyata ya hal-hal di dunia ini. Fuhh...
Apalah aku ini... Debu.
Hingga akhirnya larut waktu berjalan, sambil makan sambil bersua. Foto-foto adalah penanda puncak pertemuan. Apa zaman memang berlangsung seperti itu? Foto itu penanda sudah ada pertemuan, penanda acara terlah terjadi. Padahal sepanjang pertemuan tidak ada kegiatan yang diagendakan sedemikian rupa, entah itu berbagi cerita secara bergilir atau apalah gitu.
Tapi, ya begitulah, itu sudah berlangsung dari tahun ke tahun. Hmmm... Kalau lihat dari sudut lain, kayaknya bisa berkumpul aja sudah sangat disyukurkan.
Sepanjang pertemuan, terasa sekali hawa-hawa... kasarnya... gengsi. Ya, walau mungkin itu suudzonku saja, tapi kerasa sekali dariku kayak takut dianggap remeh atau dianggap sebelah mata. Ya, tapi sudahlah, ku cerita aja apa ada yang ada setiap pertanyaan yang melayang.
Hingga akhirnya di penghujung pertemuan, terdapat dua kelompok pembicaraan. Aku nimbrung di salah satunya. Lalu umiku tiba-tiba bilang. "Ih, Hilmy nimbrungnya sama cewek-cewek."
Aku kaget, pas lihat sekitar, lho iya aku dibagian kelompok yang isinya emak-emak dan anak-anak cewek semua. Aku mau ketawa jadinya. Tapi aku dibelain, katanya "Nggak apa-apa ngobrol sama cewek-cewek, biar nanti bisa memahami cewek." Dalam hatiku tertawa saja.
Lalu aku akhirnya pindah, ke tempat para cowok-cowok. Obrolannya agak berat, kalau tadi di cewek-cewek ngomongin masa lalu di tempat tinggal mereka, kalau cowok-cowok bahas perkembangan bisnis. Aku hanya mendengar saja, banyak sekali ternyata ya hal-hal di dunia ini. Fuhh...
Apalah aku ini... Debu.
Pusaran
Telinga itu tidak selalu hadir, bahkan sekali pun kita sangat menginginkannya. Perjalanan waktu memang bakal merubah beberapa kepingan kisah, tak apa, bukan kita untuk menuntut. Semua memang ada masanya.
Memang membingungkan, ingin menarik diri dari pusaran atau tetap begitu saja. Semua harus dilakukan sebaik mungkin, kan? Tidak boleh ada yang terluka, tidak boleh ada yang menyimpan duka. Dimulai dengan baik, diakhiri dengan baik.
***
Pagi ini, rasanya dingin sekali ya.
Memang membingungkan, ingin menarik diri dari pusaran atau tetap begitu saja. Semua harus dilakukan sebaik mungkin, kan? Tidak boleh ada yang terluka, tidak boleh ada yang menyimpan duka. Dimulai dengan baik, diakhiri dengan baik.
***
Pagi ini, rasanya dingin sekali ya.
Sabtu, 18 Mei 2019
Ingin Duduk di Bawah Awan-Awan
Terkadang waktu yang mengubah-ubah. Ada bulan yang terang lalu luntur cahayanya. Ada bulan yang setipis benang lalu terang benderang pantulannya.
Semua ada masanya, banyak hal yang terjadi, terkadang kita mengerti, terkadang kita tidak mengerti.
Begitu pun tahun-tahun berganti. Mungkin, tahun ini, Allah ingin menghadirkan banyak jawaban atas pertanyaan dari tahun kemarin.
Hanya lagi ingin duduk di bawah awan-awan malam, syukur-syukur ada bintang ada bulan. Sendiri tak mengapa, berdua atau beberapa lebih baik. Terserah, mau menyuruput teh atau kopi. Terserah juga mau sekadar ada ciki atau makanan lainnya.
Semua ada masanya, banyak hal yang terjadi, terkadang kita mengerti, terkadang kita tidak mengerti.
Begitu pun tahun-tahun berganti. Mungkin, tahun ini, Allah ingin menghadirkan banyak jawaban atas pertanyaan dari tahun kemarin.
Hanya lagi ingin duduk di bawah awan-awan malam, syukur-syukur ada bintang ada bulan. Sendiri tak mengapa, berdua atau beberapa lebih baik. Terserah, mau menyuruput teh atau kopi. Terserah juga mau sekadar ada ciki atau makanan lainnya.
Kamis, 16 Mei 2019
Kenapa?
Dari sudut pandangku, kata "kenapa?" itu sangat bermakna sekali. Apalagi kalau lagi pengen-pengen dimengertiinnya sama orang lain, atau lagi ada masalah dan bingung ngungkapinnya, atau lagi bertindak tidak biasanya.
Kata "kenapa?" itu seperti oase di padang pasir. Apalagi kalau bertanyanya dengan penuh empati atau orang yang memang kita tuju untuk bertanya akan "kenapa?" atau orang yang mungkin tahu jawaban dari "kenapa?"-nya kita itu.
Kata "kenapa?" juga bisa menghangatkan seperti api di tengah salju. Saat jarak seolah memisahkan, saat perilaku tak lagi sama, saat prasangka terkukung ketakutan, kata "kenapa?" dari orang yang terlibat itu seolah menghangatkan.
Kata "Kenapa?" itu sederhana, tapi bisa berefek hingga ke ujung. Intinya bukan di katanya sih, tapi ... pedulinya. :)
Kata "kenapa?" itu seperti oase di padang pasir. Apalagi kalau bertanyanya dengan penuh empati atau orang yang memang kita tuju untuk bertanya akan "kenapa?" atau orang yang mungkin tahu jawaban dari "kenapa?"-nya kita itu.
Kata "kenapa?" juga bisa menghangatkan seperti api di tengah salju. Saat jarak seolah memisahkan, saat perilaku tak lagi sama, saat prasangka terkukung ketakutan, kata "kenapa?" dari orang yang terlibat itu seolah menghangatkan.
Kata "Kenapa?" itu sederhana, tapi bisa berefek hingga ke ujung. Intinya bukan di katanya sih, tapi ... pedulinya. :)
Rabu, 15 Mei 2019
Pantas Tidak Pantas
Beberapa minggu belakangan ini selalu suka kepikiran soal pantas tidak pantas. Rasanya banyak sekali hal yang kupikir kayaknya aku nggak pantas untuk semua itu. Terus pikiran itu semakin dalam dan dalam rasanya buat keadaan diri semakin terpuruk.
Saat itu aku jadi keinget postingan ini. Rasanya aku tinggal menentukan aja dari keterpurukan itu, mau berusaha memantaskan atau menyerah aja? Terus dari situ jika ditarik jauh ke belakang lagi, menyerah itu rasanya jadi amat sia-sia, apalagi setelah dibayangkan betapa banyak waktu, tenaga, dan pikiran yang diupayakan hingga sejauh ini.
Dari situ, akhirnya aku hanya bisa berharap, semoga Allah pantaskan, Allah berkahkan, dan Allah ridhokan.
Karena upayaku sungguh sebenarnya tidak ada apa-apanya, tanpa pertolongan dari Allah mungkin semua yang ada di seklilingku saat ini, semua yang kumiliki saat ini tak akan pernah sampai kepadaku.
Saat itu semua terjadi, aku hanya bisa menghembus napas dan tersenyum. Perjalanan ini masih sangat panjang, memantaskan diri untuk Allah itu bukan perjalanan sekali dua kali, tapi seumur hidupkan? Well, sebenarnya pada intinya, beramal baik itu seumur hidup.
Saat itu aku jadi keinget postingan ini. Rasanya aku tinggal menentukan aja dari keterpurukan itu, mau berusaha memantaskan atau menyerah aja? Terus dari situ jika ditarik jauh ke belakang lagi, menyerah itu rasanya jadi amat sia-sia, apalagi setelah dibayangkan betapa banyak waktu, tenaga, dan pikiran yang diupayakan hingga sejauh ini.
Dari situ, akhirnya aku hanya bisa berharap, semoga Allah pantaskan, Allah berkahkan, dan Allah ridhokan.
Karena upayaku sungguh sebenarnya tidak ada apa-apanya, tanpa pertolongan dari Allah mungkin semua yang ada di seklilingku saat ini, semua yang kumiliki saat ini tak akan pernah sampai kepadaku.
Saat itu semua terjadi, aku hanya bisa menghembus napas dan tersenyum. Perjalanan ini masih sangat panjang, memantaskan diri untuk Allah itu bukan perjalanan sekali dua kali, tapi seumur hidupkan? Well, sebenarnya pada intinya, beramal baik itu seumur hidup.
Selasa, 14 Mei 2019
Perkara Menulis
Pas semalam nulis lagi di blog, kok rasanya kata-katanya mentok-mentok. Bingung menghubungkan dari kata ke kata, dari kalimat ke kalimat, dari pargraf ke paragraf. Bahkan tadi pas disuruh nulis sebuah cerita kecil ku bingung, kapan harus dijadikan paragraf baru kapan bisa dilanjutkan?
Rasanya sedih.
Sudah separah inikah? Walau dulu mungkin pas pertama nulis buat narasi dibacanya kayak tulisan blog yang tidak mengalir indah. Tapi, sudah berapa tahun itu? Sekarang mungkin memang sudah lama tidak serius dalam menulis, karena kebanyakan buat curhat dan menumpahkan isi di kepala saja.
Dulu, rasanya ku ganggu sekali ya nyuruh orang-orang untuk baca tulisanku, ya walau akhirnya tidak ada yang kelar tulisan selama kuliah. Mungkin ada, tapi di akhir cerita rasanya sudah banyak maksa. Saking ganggunya, bahkan ada temanku yang selalu baca tulisanku sebelum tidur. Ku baru sadar, dan merasa mendzalimi orang-orang itu... Hiks, maafkan diriku ini teman-teman lama.
Bicara menulis, kemarin Qonita tembus menulis esai se-nasional. Ku jadi kepikiran, apa sebenarnya aku doang yang sedang tidak menulis? Mendapati diriku terpacu jika ada tuju, mungkin aku harus mematri satu lomba untuk ku ikut sertakan dengan serius kali ya.
Akan tetapi pas melihat tema dan coba kupikir adakah plot yang terbayang dikepalaku, aku jadi bingung sendiri, tidak, aku benar-benar tidak kebayang akan menuangkan cerita apa di lomba itu jika aku ikut serta. Rupanya, ini lebih parah dari yang kuduga.
Aku selalu heran sama penulis yang membuat orang terkagum dengan kelihaian dan kepintarannya. Membuat karakter yang amat super pintar. Sepintar apa orang yang menulisnya? Seberapa banyak buku yang ia telan? Seberapa kuat ingatan dari setiap buku yang ia telan? Dan berapa kali dia menulis dan menghapus pada setiap kata demi kata di dalam tulisannya itu?
Banyak hal yang terjadi belakangan ini dalam kepalaku, dan sempatku berpikir, kita akhiri saja perkara menulis-menulis ini? Hidup sebagai desainer seutuhnya, bahkan aku sudah lama tidak menggambar tangan...
Hoooooooo dilemanya hidupku ini. Ya Allah tunjukkanlah jalan yang Engkau berkahi dan ridhoi :")
Rasanya sedih.
Sudah separah inikah? Walau dulu mungkin pas pertama nulis buat narasi dibacanya kayak tulisan blog yang tidak mengalir indah. Tapi, sudah berapa tahun itu? Sekarang mungkin memang sudah lama tidak serius dalam menulis, karena kebanyakan buat curhat dan menumpahkan isi di kepala saja.
Dulu, rasanya ku ganggu sekali ya nyuruh orang-orang untuk baca tulisanku, ya walau akhirnya tidak ada yang kelar tulisan selama kuliah. Mungkin ada, tapi di akhir cerita rasanya sudah banyak maksa. Saking ganggunya, bahkan ada temanku yang selalu baca tulisanku sebelum tidur. Ku baru sadar, dan merasa mendzalimi orang-orang itu... Hiks, maafkan diriku ini teman-teman lama.
Bicara menulis, kemarin Qonita tembus menulis esai se-nasional. Ku jadi kepikiran, apa sebenarnya aku doang yang sedang tidak menulis? Mendapati diriku terpacu jika ada tuju, mungkin aku harus mematri satu lomba untuk ku ikut sertakan dengan serius kali ya.
Akan tetapi pas melihat tema dan coba kupikir adakah plot yang terbayang dikepalaku, aku jadi bingung sendiri, tidak, aku benar-benar tidak kebayang akan menuangkan cerita apa di lomba itu jika aku ikut serta. Rupanya, ini lebih parah dari yang kuduga.
Aku selalu heran sama penulis yang membuat orang terkagum dengan kelihaian dan kepintarannya. Membuat karakter yang amat super pintar. Sepintar apa orang yang menulisnya? Seberapa banyak buku yang ia telan? Seberapa kuat ingatan dari setiap buku yang ia telan? Dan berapa kali dia menulis dan menghapus pada setiap kata demi kata di dalam tulisannya itu?
Banyak hal yang terjadi belakangan ini dalam kepalaku, dan sempatku berpikir, kita akhiri saja perkara menulis-menulis ini? Hidup sebagai desainer seutuhnya, bahkan aku sudah lama tidak menggambar tangan...
Hoooooooo dilemanya hidupku ini. Ya Allah tunjukkanlah jalan yang Engkau berkahi dan ridhoi :")
Senin, 13 Mei 2019
Berpikir Serius
Beberapa hari belakangan ini sungguh banyak sekali obrolan-obrolan yang membuka pikiran ini. Dimana sebelumnya sudah meyakini kayaknya udah sulit nih berpikir besar, biarkan hidup mengalir dari momentum ke momentum. Tapi, beberapa hari belakangan ini membuatku jadi kepikiran untuk merencanakan hidup yang lebih besar lagi.
Ada satu konsep yang membuatku terhentak dari kenyamanan kondisi saat ini. Konsep itu bernama Berpikir Serius (At Tafkîr al-Jiddiyyah) yang dikemukakan oleh Syekh Taqyiuddin an Nabhani. Ada beberapa tahap bahwa kita memang sedang berpikir serius dalam hidup ini.
Pertama, memiliki goal yang konsep yang dicapai dengan batasan-batasan yang jelas. Pastinya adalah sesuatu yang besar. Kedua, tahu langkah-langkah mencapainya. Ketiga, keluar dari rutinitas yang tidak tahu tujuan dari rutinitas itu sehingga menghilangkan spirit perjuangan mencapai goal itu. Kalau telah melakukan tiga hal itu, barulah kita bisa disebut berpikir serius.
Ada tambahan, ketika sudah mencanangkan goal yang tinggi dan jelas, kita fokus saja dengan langkah-langkah yang sudah kita tentukan. Karena sering-sering kita melihat goal membuat kita merasa lelah. "Kok nggak sampai-sampai ya ke goal kita?" Kalau kita fokus ke langkah-langkah, tanpa sadar kita berjalan semakin dekat dengan goal kita.
Dari konsep itu, membuatku menelaah ulang kehidupanku sekarang. Hmm, ku mulai kehilangan arah dan terjebak oleh rutinitas. Ku juga perlahan susah sekali untuk tumbuh, tak ada pemicu dan tak ada pemacu. Memang tujuan itu sungguh penting sekali, agar tertap tumbuh dan terarah.
Sebenarnya banyak lagi hal-hal menarik yang membuka pemikiranku untuk terus tumbuh, untuk semakin melebarkan sayap, salah satunya juga membuka lingkar sosial. Belakangan ini memang sudah mulai kehabisan orang yang bisa ku ajak bicara, beberapa orang sudah ku ketahui cerita-ceritanya, mungkin memang perlu ikut sesuatu di luar kantor. Dulu pernah kepikiran mau ikutan komunitas ah, eh tapi bingung komunitas apa yang cocok. Padahal, jika dipikirkan kesukaanku itu cukup banyak, tapi kenapa susah banget ya... Atau emang dasarnya masih nyaman di keadaan ini?
Fase kehidupan terus berlanjut, jangan sampai terombang-ambing ketika waktu sudah semakin menipis.
Ada satu konsep yang membuatku terhentak dari kenyamanan kondisi saat ini. Konsep itu bernama Berpikir Serius (At Tafkîr al-Jiddiyyah) yang dikemukakan oleh Syekh Taqyiuddin an Nabhani. Ada beberapa tahap bahwa kita memang sedang berpikir serius dalam hidup ini.
Pertama, memiliki goal yang konsep yang dicapai dengan batasan-batasan yang jelas. Pastinya adalah sesuatu yang besar. Kedua, tahu langkah-langkah mencapainya. Ketiga, keluar dari rutinitas yang tidak tahu tujuan dari rutinitas itu sehingga menghilangkan spirit perjuangan mencapai goal itu. Kalau telah melakukan tiga hal itu, barulah kita bisa disebut berpikir serius.
Ada tambahan, ketika sudah mencanangkan goal yang tinggi dan jelas, kita fokus saja dengan langkah-langkah yang sudah kita tentukan. Karena sering-sering kita melihat goal membuat kita merasa lelah. "Kok nggak sampai-sampai ya ke goal kita?" Kalau kita fokus ke langkah-langkah, tanpa sadar kita berjalan semakin dekat dengan goal kita.
Dari konsep itu, membuatku menelaah ulang kehidupanku sekarang. Hmm, ku mulai kehilangan arah dan terjebak oleh rutinitas. Ku juga perlahan susah sekali untuk tumbuh, tak ada pemicu dan tak ada pemacu. Memang tujuan itu sungguh penting sekali, agar tertap tumbuh dan terarah.
Sebenarnya banyak lagi hal-hal menarik yang membuka pemikiranku untuk terus tumbuh, untuk semakin melebarkan sayap, salah satunya juga membuka lingkar sosial. Belakangan ini memang sudah mulai kehabisan orang yang bisa ku ajak bicara, beberapa orang sudah ku ketahui cerita-ceritanya, mungkin memang perlu ikut sesuatu di luar kantor. Dulu pernah kepikiran mau ikutan komunitas ah, eh tapi bingung komunitas apa yang cocok. Padahal, jika dipikirkan kesukaanku itu cukup banyak, tapi kenapa susah banget ya... Atau emang dasarnya masih nyaman di keadaan ini?
Fase kehidupan terus berlanjut, jangan sampai terombang-ambing ketika waktu sudah semakin menipis.
Cerita Palsu
Menjelang buka puasa ada game kecil-kecilan dari Mbak Dian. Kita dibagi tiga tim. Setiap satu tim, anggotanya harus menceritakan pengalaman menariknya, nah tapi satu orang dalam satu tim harus buat pengalaman yang palsu. Lalu tim lain menebak mana pernyataan cerita yang palsu itu.
Tiga tim itu terdiri dari 3 orang. Aku pun pas sekali kebagian dengan anak-anak yang paling muda diantara lainnya. Lalu kita diskusi, tadinya si cewek yang mau buat cerita palsu, tapi entah kenapa aku kepikiran buat cerita yang mungkin bisa mengecoh.
Akhirnya aku pun yang menulis cerita palsu itu.
Game dimulai, timku menjadi tim pertama yang cerita apa saja pengalaman menarik di setiap orangnya. Si cewek pertama. "Aku nabrak kandang soang, terus soangnya keluar lari gitu." Inti ceritanya gitu. Lalu temanku satunya. "Aku punya skripsi yang Go Internasional." Lalu terakhir aku. "Aku punya 4 gebetan dalam satu waktu."
Dari tiga pertanyaan itu, dua tim lainnya menebak. Dan... Ternyata mereka menebak si cewek yang membuat cerita palsu. Dimana berarti, mereka percaya dengan ceritaku... Oh men... Haha
Akhirnya pun jawaban diberi tahu ke tim lainnya kalau aku lah yang buat cerita palsu. Tapi yang lain menolak, itu seperti nyata bagi mereka. Aku tergelak, oh my dream...
Tiga tim itu terdiri dari 3 orang. Aku pun pas sekali kebagian dengan anak-anak yang paling muda diantara lainnya. Lalu kita diskusi, tadinya si cewek yang mau buat cerita palsu, tapi entah kenapa aku kepikiran buat cerita yang mungkin bisa mengecoh.
Akhirnya aku pun yang menulis cerita palsu itu.
Game dimulai, timku menjadi tim pertama yang cerita apa saja pengalaman menarik di setiap orangnya. Si cewek pertama. "Aku nabrak kandang soang, terus soangnya keluar lari gitu." Inti ceritanya gitu. Lalu temanku satunya. "Aku punya skripsi yang Go Internasional." Lalu terakhir aku. "Aku punya 4 gebetan dalam satu waktu."
Dari tiga pertanyaan itu, dua tim lainnya menebak. Dan... Ternyata mereka menebak si cewek yang membuat cerita palsu. Dimana berarti, mereka percaya dengan ceritaku... Oh men... Haha
Akhirnya pun jawaban diberi tahu ke tim lainnya kalau aku lah yang buat cerita palsu. Tapi yang lain menolak, itu seperti nyata bagi mereka. Aku tergelak, oh my dream...
Sambangi Waktu
Waktu jika sambangi ke belakang terasa cepat ya, sudah beberapa tahun saja berlalu, mengingat banyak sekali bintang yang dulu bersinar sekarang telah redup.
Minggu, 12 Mei 2019
Soal Yakin
"Perempuan tuh ya, ngikut deh sama laki laki. Kalo laki lakinya mantap berkomitmen memimpin, perempuannya juga mantap berkomitmen siap dipimpin.
Kalau laki lakinya mantap siap belajar, perempuannya mantap siap menjadi partner belajar. Saling mengajarkan dan belajar satu sama lain.
Kemantapan untuk belajar dan kemantapan untuk lanjut. Kalau dari laki lakinya bulat, insyaAllah perempuannya lebih yakin.
Tapi kalau belum bulat, masih pecah pecah berupa keraguan.. perempuannya juga akan ngerasain."
- Ka Cime
Kalau laki lakinya mantap siap belajar, perempuannya mantap siap menjadi partner belajar. Saling mengajarkan dan belajar satu sama lain.
Kemantapan untuk belajar dan kemantapan untuk lanjut. Kalau dari laki lakinya bulat, insyaAllah perempuannya lebih yakin.
Tapi kalau belum bulat, masih pecah pecah berupa keraguan.. perempuannya juga akan ngerasain."
- Ka Cime
Jumat, 10 Mei 2019
Lika-Liku
Aku sangat suka sekali dan menghargai betul bicara dengan orang, dimana orang itu benar-benar menghargai saat kita bicara, mendengar kita, dan menyahutinya dengan serius. Maksudku, dia benar-benar ada saat kita bicara.
Dari sekian banyak kubicara dengan orang-orang di kantor, ku bisa melihat mana orang yang benar-benar menghargai saat kita bicara atau tidak. Tapi, Alhamdulillah, amazingnya hampir semua orang kantor yang ku ajak ngobrol benar-benar menghargai saat kita bicara.
Salah satunya ka Amri, jika ketika voting untuk orang terhangat atau terfriendly bisa dibilang, ka Amri lah juaranya--emang bener juara itu sih dia. Setiap bicara dengan dia, seolah dia menurunkan semua yang ada dirinya dan membuat kita setara, seolah kita seumuran dan kemampuan kita sama. Maksudku, dia tidak berusaha menggurui, tidak berusaha menasehati, dia mendengar bahkan terkadang dia memuji sudut pandang kita. Percayalah, pekerjaan seperti tidak mudah, apalagi jika kita memang lebih banyak tau atua lebih tua dari lawan bicara kita, rasanya ingin ngasih tahu ini itu yang mungkin buat lawan bicara kita malah tidak nyaman.
Tidak jarang bahkan ka Amri membuka obrolan dan meminta saran. Rasanya sebenarnya agak aneh, meminta saran dengan orang sepertiku? Untuk pekerjaan yang mungkin aku belum sampai di levelnya. Tapi, aku senang, jika seseorang meminta saran kepada orang lain, berarti orang lain itu cukup dihargai olehnya dan menganggap sarannya mungkin bisa membantu. Tapi memang obrolan-obrolan itu sebenarnya menyenangkan sih.
Aku bukan tipikal pekerja sendiri, aku berpikir lewat obrolan. Dari obrolan-obrolan itulah otakku bisa ke trigger untuk berpikir lebih deep. Makanya, ketika dulu ikut lomba dan disuruh cari ide masing-masing, aku pasti akan melambaikan bendera putih. Tapi jika mencari ide lewat diskusi, lempar ide liar terus dikulik bareng-bareng, disitu aku merasa otakku bekerja lebih optimal dan menghadirkan hal-hal yang Insya Allah, biasa aja sih. hehe.
Mungkin dengan meminta saran ke beberapa orang itu cara ka Amri untuk berpikir seperti yang aku alami. Tapi ku tidak tahu dengan pasti.
Aku sangat senang ketika ka Amri presentasi atau menjadi mc atau bicara di depan umum. Aku pasti bisa terbahak-bahak olehnya. Pembawaannya yang ekspresif, tingkahnya yang seolah cocok menjadi bahan bully-an, cara bicara yang profesional, dan sarat akan ilmu-ilmu dari setiap buku yang pernah dibaca olehnya.
Terkadang, ketika aku melihat ka Amri di depan, aku jadi iri. Dulu aku ingin sekali bisa bicara di depan umum se-ekspresif itu, selancar itu, semenarik itu, dan sarat akan ilmu seperti itu. Tapi, aku sadar diri sih, banyak faktor yang harus kupertimbangkan. Tapi setiap kali aku melihat ka Amri di depan dan berbicara, aku selalu bilang "Pasti istrinya ka Amri beruntung banget nih, suaminya pinter, cara bicaranya keren, dan pembawaannya yang lucu."
Terakhir kali ada sebuah paket untuk ka Amri, dan tahu isinya apa? Ya, buku. Hampir setiap postingannya tuh banyak sekali tentang buku yang ia baca, entah ku pikir ini buku apa coba yang dia beli. Banyak sekali, dari bahasa Indonesia hingga bahas inggris. Terakhir kali ia dapat paket itu, ternyata dia beli buku tentang kerja tim, yang mana berbahasa inggris. Ku melihatnya aja udah serem, baca buku... Terus bahasa inggris... Tidak ada sama sekali terpikir olehku untuk melakukan itu.
Selain semua itu, dia juga buat podcast, beberapa kali ku dengar, well, aku merasa sedih saat itu. Nggak saat dengar podcast ka Amri aja sih. Ketika kajian atau obrolan-obrolan tentang tsaqofah Islam terus ternyata yang lain pada tahu sementara itu aku tidak tahu, ku merasa sedih, ternyata ku benar-benar tertinggal jauh ya dari orang-orang sekitarku... Hiks.
Terakhir, kegigihan, ku tidak habis pikir ka Amri punya stamina banyak saat bermain futsal. Jika ditanya orang yang paling main total di lapangan futsal setiap minggunya siapa, itu ka Amri namanya. Dia selalu datang paling duluan, pemanasan duluan, dan mainnya seperti kesurupan. Lari sana lari sini, bawa bola, tendang bola, nahan bola, rasanya ku heran, ini stamina kok nggak habis-habis ya? Padahal kayaknya yang kutahu dia olah raganya cuman futsal seminggu sekali aja deh.
Bahkan dia sering banget bermain futsal sampai guling-guling, sampai mukanya terkadang terdapat hamburan rumput sintetis. Dia pun sering main sejam full tidak diganti-ganti. Mungkin semua itu bisa disimpulkan dengan satu kata, kegigihan. Ya, seperti itulah gambaran dia ketika di lapangan futsal.
Selain mas Salingga di kantor yang ku anggap memiliki kemiripan dalam jati diri--walau sebenarnya jauh banget sih, ini mirip karena MBTI nya aja cuman beda ekstrovert dan introvert--ku merasa perjalanan ka Amri juga mirip denganku, walau tentu lebih azaming kisahnya dia sih sampai jadi Ketua BEM Fakultas dan unjuk rasa di gedung DPR.
Kesamaan yang ku alami adalah, waktu dimana kami merasa krisis dengan transisi dari kuliah yang bagai mimpi, ikut ini itu, berhasil ini itu, lalu ke jenjang pekerjaan yang... kok gini-gini aja? Sampai akhirnya ka Amri memutuskan untuk menikah. Dia bahkan menjadi orang pertama yang menikah di angkatan fakultasnya.
Aku ingat kata-kata perihal kenapa menikah harus segera, aku ingat ini kata dari mas Salingga, mungkin juga pernah terlontar dari ka Amri. Katanya tuh, biar kita tidak sibuk mikirin diri sendiri lagi. Kalau belum menikahkan kita mikirin kita sendiri terus, terus mikirin jodoh mulu, jadi mikirin umatnya kapan?
Kalau udah nikah, kita udah nggak bisa mikriin diri sendiri, dan kita bisa fokus untuk mikirin umat, atau mikirin yang lebih besar selain perkara jodoh... Itu mungkin kenapa mas Salingga dan ka Amri nikah begitu muda dan sekarang anak mereka sudah besar-besar.
Eh bukan maksudnya mau bahas soal nikah, tapi memang setiap orang punya problematika sendiri. Begitu pun yang ada di ka Amri, saat aku tahu apa masalahnya dia, aku seolah seperti berkaca pada diri sendiri. Loh, kok mirip kayak yang aku alami dan aku pikir ya?
Setelah kuliah, terombang-ambing, akhirnya mentok sibuk mikirin wanita--well, kita mengakui bahwa godaan terberat kita bukanlah jabatan ataupun tahta, tapi wanita--hingga akhirnya itu pun yang membuat ka Amri bilang, "Ini gak bisa solve lagi nih--soal wanita--selain nikah. Yaudah, gue cari temen SMA gue yang kira-kira memungkinkan. Akhirnya gue pilih istri gue. Gue yang orangnya pecicilan, sradak-sruduk, nggak bisa diem, gue pun berpikir nyari wanita yang pendiem, kalem, yang bisa nenangin gue saat gue kacau, dan itu adalah istri gue saat ini."
Ku hanya bisa tersenyum, sederhana tapi tepat. Memang terkadang sebenarnya kita tahu apa penyelesaiannya, tapi terkadang terhambat oleh banyak pemikiran buruk yang menghantui akan penyelesaian itu yang padahal belum tentu terjadi.
Perkara setiap orang punya godaan terberat sendiri, itu menjadi membuka pemikiranku, bahwa ya... kita tidak bisa menganggap remeh permasalahan atau ujian orang lain yang mungkin kita rasa, "Yaelah gitu doang." Karena takaran diri yang terbentuk setiap orang pun berbeda. Dan kurasa Allah akan terus menguji kita pada titik itu hingga akhirnya kita dipantaskan lebih baik pada titik untuk kita. Walau mungkin ujiannya tidak hanya sekali.
Dari sekian banyak kubicara dengan orang-orang di kantor, ku bisa melihat mana orang yang benar-benar menghargai saat kita bicara atau tidak. Tapi, Alhamdulillah, amazingnya hampir semua orang kantor yang ku ajak ngobrol benar-benar menghargai saat kita bicara.
Salah satunya ka Amri, jika ketika voting untuk orang terhangat atau terfriendly bisa dibilang, ka Amri lah juaranya--emang bener juara itu sih dia. Setiap bicara dengan dia, seolah dia menurunkan semua yang ada dirinya dan membuat kita setara, seolah kita seumuran dan kemampuan kita sama. Maksudku, dia tidak berusaha menggurui, tidak berusaha menasehati, dia mendengar bahkan terkadang dia memuji sudut pandang kita. Percayalah, pekerjaan seperti tidak mudah, apalagi jika kita memang lebih banyak tau atua lebih tua dari lawan bicara kita, rasanya ingin ngasih tahu ini itu yang mungkin buat lawan bicara kita malah tidak nyaman.
Tidak jarang bahkan ka Amri membuka obrolan dan meminta saran. Rasanya sebenarnya agak aneh, meminta saran dengan orang sepertiku? Untuk pekerjaan yang mungkin aku belum sampai di levelnya. Tapi, aku senang, jika seseorang meminta saran kepada orang lain, berarti orang lain itu cukup dihargai olehnya dan menganggap sarannya mungkin bisa membantu. Tapi memang obrolan-obrolan itu sebenarnya menyenangkan sih.
Aku bukan tipikal pekerja sendiri, aku berpikir lewat obrolan. Dari obrolan-obrolan itulah otakku bisa ke trigger untuk berpikir lebih deep. Makanya, ketika dulu ikut lomba dan disuruh cari ide masing-masing, aku pasti akan melambaikan bendera putih. Tapi jika mencari ide lewat diskusi, lempar ide liar terus dikulik bareng-bareng, disitu aku merasa otakku bekerja lebih optimal dan menghadirkan hal-hal yang Insya Allah, biasa aja sih. hehe.
Mungkin dengan meminta saran ke beberapa orang itu cara ka Amri untuk berpikir seperti yang aku alami. Tapi ku tidak tahu dengan pasti.
Aku sangat senang ketika ka Amri presentasi atau menjadi mc atau bicara di depan umum. Aku pasti bisa terbahak-bahak olehnya. Pembawaannya yang ekspresif, tingkahnya yang seolah cocok menjadi bahan bully-an, cara bicara yang profesional, dan sarat akan ilmu-ilmu dari setiap buku yang pernah dibaca olehnya.
Terkadang, ketika aku melihat ka Amri di depan, aku jadi iri. Dulu aku ingin sekali bisa bicara di depan umum se-ekspresif itu, selancar itu, semenarik itu, dan sarat akan ilmu seperti itu. Tapi, aku sadar diri sih, banyak faktor yang harus kupertimbangkan. Tapi setiap kali aku melihat ka Amri di depan dan berbicara, aku selalu bilang "Pasti istrinya ka Amri beruntung banget nih, suaminya pinter, cara bicaranya keren, dan pembawaannya yang lucu."
Terakhir kali ada sebuah paket untuk ka Amri, dan tahu isinya apa? Ya, buku. Hampir setiap postingannya tuh banyak sekali tentang buku yang ia baca, entah ku pikir ini buku apa coba yang dia beli. Banyak sekali, dari bahasa Indonesia hingga bahas inggris. Terakhir kali ia dapat paket itu, ternyata dia beli buku tentang kerja tim, yang mana berbahasa inggris. Ku melihatnya aja udah serem, baca buku... Terus bahasa inggris... Tidak ada sama sekali terpikir olehku untuk melakukan itu.
Selain semua itu, dia juga buat podcast, beberapa kali ku dengar, well, aku merasa sedih saat itu. Nggak saat dengar podcast ka Amri aja sih. Ketika kajian atau obrolan-obrolan tentang tsaqofah Islam terus ternyata yang lain pada tahu sementara itu aku tidak tahu, ku merasa sedih, ternyata ku benar-benar tertinggal jauh ya dari orang-orang sekitarku... Hiks.
Terakhir, kegigihan, ku tidak habis pikir ka Amri punya stamina banyak saat bermain futsal. Jika ditanya orang yang paling main total di lapangan futsal setiap minggunya siapa, itu ka Amri namanya. Dia selalu datang paling duluan, pemanasan duluan, dan mainnya seperti kesurupan. Lari sana lari sini, bawa bola, tendang bola, nahan bola, rasanya ku heran, ini stamina kok nggak habis-habis ya? Padahal kayaknya yang kutahu dia olah raganya cuman futsal seminggu sekali aja deh.
Bahkan dia sering banget bermain futsal sampai guling-guling, sampai mukanya terkadang terdapat hamburan rumput sintetis. Dia pun sering main sejam full tidak diganti-ganti. Mungkin semua itu bisa disimpulkan dengan satu kata, kegigihan. Ya, seperti itulah gambaran dia ketika di lapangan futsal.
Selain mas Salingga di kantor yang ku anggap memiliki kemiripan dalam jati diri--walau sebenarnya jauh banget sih, ini mirip karena MBTI nya aja cuman beda ekstrovert dan introvert--ku merasa perjalanan ka Amri juga mirip denganku, walau tentu lebih azaming kisahnya dia sih sampai jadi Ketua BEM Fakultas dan unjuk rasa di gedung DPR.
Kesamaan yang ku alami adalah, waktu dimana kami merasa krisis dengan transisi dari kuliah yang bagai mimpi, ikut ini itu, berhasil ini itu, lalu ke jenjang pekerjaan yang... kok gini-gini aja? Sampai akhirnya ka Amri memutuskan untuk menikah. Dia bahkan menjadi orang pertama yang menikah di angkatan fakultasnya.
Aku ingat kata-kata perihal kenapa menikah harus segera, aku ingat ini kata dari mas Salingga, mungkin juga pernah terlontar dari ka Amri. Katanya tuh, biar kita tidak sibuk mikirin diri sendiri lagi. Kalau belum menikahkan kita mikirin kita sendiri terus, terus mikirin jodoh mulu, jadi mikirin umatnya kapan?
Kalau udah nikah, kita udah nggak bisa mikriin diri sendiri, dan kita bisa fokus untuk mikirin umat, atau mikirin yang lebih besar selain perkara jodoh... Itu mungkin kenapa mas Salingga dan ka Amri nikah begitu muda dan sekarang anak mereka sudah besar-besar.
Eh bukan maksudnya mau bahas soal nikah, tapi memang setiap orang punya problematika sendiri. Begitu pun yang ada di ka Amri, saat aku tahu apa masalahnya dia, aku seolah seperti berkaca pada diri sendiri. Loh, kok mirip kayak yang aku alami dan aku pikir ya?
Setelah kuliah, terombang-ambing, akhirnya mentok sibuk mikirin wanita--well, kita mengakui bahwa godaan terberat kita bukanlah jabatan ataupun tahta, tapi wanita--hingga akhirnya itu pun yang membuat ka Amri bilang, "Ini gak bisa solve lagi nih--soal wanita--selain nikah. Yaudah, gue cari temen SMA gue yang kira-kira memungkinkan. Akhirnya gue pilih istri gue. Gue yang orangnya pecicilan, sradak-sruduk, nggak bisa diem, gue pun berpikir nyari wanita yang pendiem, kalem, yang bisa nenangin gue saat gue kacau, dan itu adalah istri gue saat ini."
Ku hanya bisa tersenyum, sederhana tapi tepat. Memang terkadang sebenarnya kita tahu apa penyelesaiannya, tapi terkadang terhambat oleh banyak pemikiran buruk yang menghantui akan penyelesaian itu yang padahal belum tentu terjadi.
Perkara setiap orang punya godaan terberat sendiri, itu menjadi membuka pemikiranku, bahwa ya... kita tidak bisa menganggap remeh permasalahan atau ujian orang lain yang mungkin kita rasa, "Yaelah gitu doang." Karena takaran diri yang terbentuk setiap orang pun berbeda. Dan kurasa Allah akan terus menguji kita pada titik itu hingga akhirnya kita dipantaskan lebih baik pada titik untuk kita. Walau mungkin ujiannya tidak hanya sekali.
Reaksi Tubuh
Akhirnya tumbang... Sekali lagi reaksi tubuh memang benar-benar tidak bisa dibohongi. Sejak tarawih semalam tubuh rasanya udah nggak bener. Bahkan pas postingan sebelumnya terkait reaksi sih. Rasanya badan tidak nyaman sekali.
Pas tarawih semalam aja pulas betul ketika dengar ceramah. Sampai-sampai mau shalat kaki kesemutan semua dan susah berdiri. Padahal saat itu yang ngisi seorang tokoh, ku malah tertidur pulas.
Ketika shalat tarawih pun tubuhku seolah memberontak, kesulitan berdiri lama-lama. Aku pun beberapa kali akhirnya sengaja telat mulai takbirnya biar nggak terlalu kelamaan berdiri yang buat benar-benar tidak nyaman.
Pulang tarawih ku tumbang, ku rebahan di ruang tengah kantor dengan bean bag yang empuk. Alhamdulilllah. Tapi bikin sempat orang bertanya-tanya, kenapa? Sampai akhirnya dipijitin sana-sini, tapi tetap saja tubuh masih sangat tidak nyaman. Bahkan hingga menulis postingan ini.
Terkadang ku mikir? Ada apa ya? Pikiran apa yang buat diriku tidak tenang hingga ke tubuh? Apa karena belum olah raga minggu ini? Memang sih belakangan kalau jarang olah raga badan tuh nggak seger, bahkan walau olah raganya cukup banyak makan porsi, Alhamdulillah badan masih diberi kekuatan untuk melakukan hal lainnya dengan cukup nyaman.
Akhirnya setelah makan, ku rebahan, dan pulas hingga sahur.
Sepertinya, aku harus pulang, bisa jadi ini bukan masalah istirahat, tapi lebih dari itu.
Pas tarawih semalam aja pulas betul ketika dengar ceramah. Sampai-sampai mau shalat kaki kesemutan semua dan susah berdiri. Padahal saat itu yang ngisi seorang tokoh, ku malah tertidur pulas.
Ketika shalat tarawih pun tubuhku seolah memberontak, kesulitan berdiri lama-lama. Aku pun beberapa kali akhirnya sengaja telat mulai takbirnya biar nggak terlalu kelamaan berdiri yang buat benar-benar tidak nyaman.
Pulang tarawih ku tumbang, ku rebahan di ruang tengah kantor dengan bean bag yang empuk. Alhamdulilllah. Tapi bikin sempat orang bertanya-tanya, kenapa? Sampai akhirnya dipijitin sana-sini, tapi tetap saja tubuh masih sangat tidak nyaman. Bahkan hingga menulis postingan ini.
Terkadang ku mikir? Ada apa ya? Pikiran apa yang buat diriku tidak tenang hingga ke tubuh? Apa karena belum olah raga minggu ini? Memang sih belakangan kalau jarang olah raga badan tuh nggak seger, bahkan walau olah raganya cukup banyak makan porsi, Alhamdulillah badan masih diberi kekuatan untuk melakukan hal lainnya dengan cukup nyaman.
Akhirnya setelah makan, ku rebahan, dan pulas hingga sahur.
Sepertinya, aku harus pulang, bisa jadi ini bukan masalah istirahat, tapi lebih dari itu.
Kamis, 09 Mei 2019
Sebuah Reaksi
"Mas, pernah nggak ngerasa badan tuh nggak nyaman banget? Kayak gemes tapi sebel tapi gimana ya jelasinnya, pokoknya nggak tenang deh, nggak karuan gitu."
Mas-nya menimbang-nimbang. "Gue nggak tahu sih ya, tapi kalau gue tuh kalau udah pusing banget tuh biasanya gue rage apa-apa rasanya mau gue tendang."
Aku mengangguk-ngangguk. "Kalau gue harus gimana ya? Rasanya tuh nggak tenang banget, tidur santai aja nggak bisa, pokoknya nggak nyaman gitu."
Mas-nya menimbang-nimbang. "Apa ya, setiap orang punya jalan keluarnya sendiri sih. Ada temen gue, kalau keadaan gitu dia cuek sama semua masalah, dia bodo amatin, dia main youtube-lah atau apapun sampai tenang gitu."
Aku mengangguk-ngangguk. "Jadi, gue apa ya?"
Mas-nya menimbang-nimbang. "Apa ya..."
Lalu aku merasa sedikit tenang. "Ah iya, ngobrol!"
"Nah iya, ngobrol!" sahut Mas-nya antusias.
Akhirnya disepakati siang itu, memecahkan gelembung pikiran-pikiran di kepala itu dengan mengobrol. Keluar sejenak dari masalah dan pikiran yang mengukung. Reaksi badan-badan itu tidak bisa berbohong.
Mas-nya menimbang-nimbang. "Gue nggak tahu sih ya, tapi kalau gue tuh kalau udah pusing banget tuh biasanya gue rage apa-apa rasanya mau gue tendang."
Aku mengangguk-ngangguk. "Kalau gue harus gimana ya? Rasanya tuh nggak tenang banget, tidur santai aja nggak bisa, pokoknya nggak nyaman gitu."
Mas-nya menimbang-nimbang. "Apa ya, setiap orang punya jalan keluarnya sendiri sih. Ada temen gue, kalau keadaan gitu dia cuek sama semua masalah, dia bodo amatin, dia main youtube-lah atau apapun sampai tenang gitu."
Aku mengangguk-ngangguk. "Jadi, gue apa ya?"
Mas-nya menimbang-nimbang. "Apa ya..."
Lalu aku merasa sedikit tenang. "Ah iya, ngobrol!"
"Nah iya, ngobrol!" sahut Mas-nya antusias.
Akhirnya disepakati siang itu, memecahkan gelembung pikiran-pikiran di kepala itu dengan mengobrol. Keluar sejenak dari masalah dan pikiran yang mengukung. Reaksi badan-badan itu tidak bisa berbohong.
Langit Berdarah
Langit-langit meneteskan air merahnya, ada puing-puing tubuh berhamburan.
Semua menangis, tapi mereka tidak.
Memasang badan berharap kematian.
Semua menangis, tapi mereka tidak.
Memasang badan berharap kematian.
Selasa, 07 Mei 2019
Halo Sepi Halo Sedih
Halo Sepi
Halo Sedih
Hmmm... Belakangan ini walau ramai tapi rasanya kok sepi sekali yaaa... Apa karena kurang mendekatkan diri dengan Allah? Mungkin salah satunya itu.
Belakangan ini juga sedih, terlebih ketika beberapa hari belakangan ini. Rasanya sedih aja, jika ditanya apa yang menyedihkan? Aku tidak yakin bisa menjawabnya.
Aku ingat kedua rasa itu ketika sakit beberapa minggu yang lalu. Rasanya sepi sekali, walau sesekali senang masih ada umi di rumah. Terus juga sedih karena dengar ceramah ustadz Adi Hidayat terkait QS An-Nisa (34). Nggak cuma sedih sih, tapi rasanya takut juga. Sebenarnya beberapa minggu yang lalu aku ingin membahas soal ini, tapi karena mengendap di kepala terlalu lama, keburu males deh.
Halo Sepi
Halo Sedih
Beberapa malam sebenarnya ramai, tapi rasanya seperti sendiri. Ya, bisa dibilang sepi di tengah keramaian. Mungkin karena banyak yang tidak kenal juga dan semua sibuk masing-masing. Terus, tetiba begitu saja sedih, entahlah, seperti yang kubilang di atas. Aku tidak yakin bisa menjawab kenapa aku sedih.
Sebenarnya beberapa malam juga ada yang bikin senyum-senyum sendiri sih, lucu aja rasanya ya sebuah keluarga itu. Tapi jika ingat QS An-Nisa (34) rasanya ingin gigit jari...
Halo Sepi
Halo Sedih
Di puasa pertama ramadhan tahun ini buka puasanya nggak di rumah, walau bukan pertama kali, tapi rasanya tetap kayak sepi. Walau juga sebenarnya buka puasanya ramai-ramai sama teman kantor dan ada gelak tawa juga pas ingin berbuka. Tapi, tetap ya, kehangatan keluarga walau terkadang suka menyebalkan tetap beda rasanya dengan pertemanan.
Halo Sepi
Halo Sedih
Mbahbu--nenekku--ternyata punya rasa takut yang sama dengan umi. Jika aku menikah, nanti mbahbu semakin jarang dikunjungi dong? Aku bisa membayangkan bagaimana kesepiannya mbahbu yang hidup sendirian di rumahnya, apalagi jika anak-anak atau cucunya ini sangat jarang berkunjung ke rumahnya. Pasti rasanya kesepian sekali.
Kalau begini jadi bisa membayangkan kenapa tempat kita pulang adalah keluarga. Karena memang mereka yang pada akhirnya paling bersedia menemani kita hingga ajal menjemput. Bagaimana mbahbu dan mbah cepu--nenek dari ibu dan ayahku--di usianya yang semakin tua tidak ada lagi yang diinginkan di dunia ini selain bisa berjumpa dengan anak dan cucunya. Bercengkerama, membahas masa lalu yang menyenangkan dan menutup kesepian itu.
Begitu ya orang tua. Mungkin nanti kita semua akan merasakannya juga :')
Halo Sepi
Halo Sedih
Mungkin sebagai manusia merasakan dua itu adalah sebuah kewajaran, kalau kata orang-orang terpenting bagaimana menyikapinya kan?
Semoga kita semua baik-baik saja ya, semoga ramadhan kali ini menjadi pijakan yang tepat untuk berubah menjadi lebih baik.
Sebenarnya masih banyak lagi yang ingin ditulis, yang ingin diluapkan di tengah pikiran-pikiran menggelembung. Tapi, karena banyak hal yang memotong menulis ini, sebaiknya kita cukupkan sampai di sini. :")
Halo Sedih
Hmmm... Belakangan ini walau ramai tapi rasanya kok sepi sekali yaaa... Apa karena kurang mendekatkan diri dengan Allah? Mungkin salah satunya itu.
Belakangan ini juga sedih, terlebih ketika beberapa hari belakangan ini. Rasanya sedih aja, jika ditanya apa yang menyedihkan? Aku tidak yakin bisa menjawabnya.
Aku ingat kedua rasa itu ketika sakit beberapa minggu yang lalu. Rasanya sepi sekali, walau sesekali senang masih ada umi di rumah. Terus juga sedih karena dengar ceramah ustadz Adi Hidayat terkait QS An-Nisa (34). Nggak cuma sedih sih, tapi rasanya takut juga. Sebenarnya beberapa minggu yang lalu aku ingin membahas soal ini, tapi karena mengendap di kepala terlalu lama, keburu males deh.
Halo Sepi
Halo Sedih
Beberapa malam sebenarnya ramai, tapi rasanya seperti sendiri. Ya, bisa dibilang sepi di tengah keramaian. Mungkin karena banyak yang tidak kenal juga dan semua sibuk masing-masing. Terus, tetiba begitu saja sedih, entahlah, seperti yang kubilang di atas. Aku tidak yakin bisa menjawab kenapa aku sedih.
Sebenarnya beberapa malam juga ada yang bikin senyum-senyum sendiri sih, lucu aja rasanya ya sebuah keluarga itu. Tapi jika ingat QS An-Nisa (34) rasanya ingin gigit jari...
Halo Sepi
Halo Sedih
Di puasa pertama ramadhan tahun ini buka puasanya nggak di rumah, walau bukan pertama kali, tapi rasanya tetap kayak sepi. Walau juga sebenarnya buka puasanya ramai-ramai sama teman kantor dan ada gelak tawa juga pas ingin berbuka. Tapi, tetap ya, kehangatan keluarga walau terkadang suka menyebalkan tetap beda rasanya dengan pertemanan.
Halo Sepi
Halo Sedih
Mbahbu--nenekku--ternyata punya rasa takut yang sama dengan umi. Jika aku menikah, nanti mbahbu semakin jarang dikunjungi dong? Aku bisa membayangkan bagaimana kesepiannya mbahbu yang hidup sendirian di rumahnya, apalagi jika anak-anak atau cucunya ini sangat jarang berkunjung ke rumahnya. Pasti rasanya kesepian sekali.
Kalau begini jadi bisa membayangkan kenapa tempat kita pulang adalah keluarga. Karena memang mereka yang pada akhirnya paling bersedia menemani kita hingga ajal menjemput. Bagaimana mbahbu dan mbah cepu--nenek dari ibu dan ayahku--di usianya yang semakin tua tidak ada lagi yang diinginkan di dunia ini selain bisa berjumpa dengan anak dan cucunya. Bercengkerama, membahas masa lalu yang menyenangkan dan menutup kesepian itu.
Begitu ya orang tua. Mungkin nanti kita semua akan merasakannya juga :')
Halo Sepi
Halo Sedih
Mungkin sebagai manusia merasakan dua itu adalah sebuah kewajaran, kalau kata orang-orang terpenting bagaimana menyikapinya kan?
Semoga kita semua baik-baik saja ya, semoga ramadhan kali ini menjadi pijakan yang tepat untuk berubah menjadi lebih baik.
Sebenarnya masih banyak lagi yang ingin ditulis, yang ingin diluapkan di tengah pikiran-pikiran menggelembung. Tapi, karena banyak hal yang memotong menulis ini, sebaiknya kita cukupkan sampai di sini. :")
Senin, 06 Mei 2019
Diriku Membosankan
Mungkin bisa dibilang aku atau kami ini pengecut?
Aku masih ingat dan mungkin baru sadar saat Ahmad bercerita ketika menemaniku untuk menjemur di suatu malam. Saat itu Ahmad bercerita ia ingin pindah sekolah, karena teman-temannya jahat kepadanya. Bisa disimpulkan Ahmad sering dibully. Mungkin sisi lainnya Ahmad merasa jauh dari rumah, merasa kesepian, namun jika dihubungkan ke teman-temannya yang jahat itu Ahmad merasa tidak aman, Ahmad merasa tidak punya tempat untuk pulang atau berlindung.
Itu asumsi singkatku. Tapi satu hal yang penting saat itu, Ahmad ingin pindah sekolah. Jika Ahmad berantem sama temannya di komplek rumah pasti Ahmad selalu balik dan meninggalkan teman-temannya itu. Walau ujungnya ketika disambangi tetap main lagi sama mereka yang berantem dengan Ahmad.
Perihal Ahmad ingin pindah sekolah dan selalu pulang jika berantem rasanya terlihat pengecut sekali. Saat Ahmad cerita soal ingin pindah sekolah aku bilang kalau harus kuat dan blablabla... Tapi aku lupa berkaca pada diri sendiri.
Sudah berapa kali aku memiliki masalah dan merasa tidak menemukan jalan keluar lantas aku pergi? Walau aku tidak serta merta pergi, tapi seolah itu seperti lari dari permasalahan. Pengecut sekali bukan? Harusnya saat itu aku bilang kepada diriku sendiri kalau aku harus kuat, aku bisa menghadapinya, aku bisa menyelesaikan semua masalah, dan blablabla lainnya.
Aku tidak tahu, apakah kita memang pengecut atau kita memang bertipikal seperti itu? Memang malas sekali sebenarnya menghadapi hal-hal begitu...
Lalu terpikir, seberapa penting sih kehadiran aku atau kita? Jika tidak terlalu penting dan hanya menjadi sebuah masalah saja bukankah lebih baik pergi? Hmm, apa itu sebenarnya tidak menyelesaikan?
Baiklah, mari kita diskusi sejenak di tengah teh yang masih mengepul. Setelah itu, jika memang kehadiranku tidak terlalu penting, lebih baik aku pergi bukan? Dari pada kemungkinan permasalahan itu datang lagi?
Tapi, tunggu, sampai kapan aku akan terus pergi? Ah tidak mungkin aku tidak menjumpai sebuah masalah, well, penting tidak penting kehadiranku mungkin harusnya tidak kupedulikan kali ya.
Karena ketika ku berada di titik itu--semua masalah itu--rasanya aku ingin tidak peduli saja dengan semuanya. Karena saat itu aku merasa diriku membosankan...
Aku masih ingat dan mungkin baru sadar saat Ahmad bercerita ketika menemaniku untuk menjemur di suatu malam. Saat itu Ahmad bercerita ia ingin pindah sekolah, karena teman-temannya jahat kepadanya. Bisa disimpulkan Ahmad sering dibully. Mungkin sisi lainnya Ahmad merasa jauh dari rumah, merasa kesepian, namun jika dihubungkan ke teman-temannya yang jahat itu Ahmad merasa tidak aman, Ahmad merasa tidak punya tempat untuk pulang atau berlindung.
Itu asumsi singkatku. Tapi satu hal yang penting saat itu, Ahmad ingin pindah sekolah. Jika Ahmad berantem sama temannya di komplek rumah pasti Ahmad selalu balik dan meninggalkan teman-temannya itu. Walau ujungnya ketika disambangi tetap main lagi sama mereka yang berantem dengan Ahmad.
Perihal Ahmad ingin pindah sekolah dan selalu pulang jika berantem rasanya terlihat pengecut sekali. Saat Ahmad cerita soal ingin pindah sekolah aku bilang kalau harus kuat dan blablabla... Tapi aku lupa berkaca pada diri sendiri.
Sudah berapa kali aku memiliki masalah dan merasa tidak menemukan jalan keluar lantas aku pergi? Walau aku tidak serta merta pergi, tapi seolah itu seperti lari dari permasalahan. Pengecut sekali bukan? Harusnya saat itu aku bilang kepada diriku sendiri kalau aku harus kuat, aku bisa menghadapinya, aku bisa menyelesaikan semua masalah, dan blablabla lainnya.
Aku tidak tahu, apakah kita memang pengecut atau kita memang bertipikal seperti itu? Memang malas sekali sebenarnya menghadapi hal-hal begitu...
Lalu terpikir, seberapa penting sih kehadiran aku atau kita? Jika tidak terlalu penting dan hanya menjadi sebuah masalah saja bukankah lebih baik pergi? Hmm, apa itu sebenarnya tidak menyelesaikan?
Baiklah, mari kita diskusi sejenak di tengah teh yang masih mengepul. Setelah itu, jika memang kehadiranku tidak terlalu penting, lebih baik aku pergi bukan? Dari pada kemungkinan permasalahan itu datang lagi?
Tapi, tunggu, sampai kapan aku akan terus pergi? Ah tidak mungkin aku tidak menjumpai sebuah masalah, well, penting tidak penting kehadiranku mungkin harusnya tidak kupedulikan kali ya.
Karena ketika ku berada di titik itu--semua masalah itu--rasanya aku ingin tidak peduli saja dengan semuanya. Karena saat itu aku merasa diriku membosankan...
Membenci dan Mencintai
Kita tidak akan bisa membenci seseorang seluruhnya, karena pasti ada kebaikan darinya yang tersimpan.
Kita tidak akan bisa mencintai seseorang seluruhnya, karena pasti ada hal yang tidak kita sukai darinya.
Well, memang membenci dan mencintai itu harus karena Allah ya, kadarnya pas. Karena Allah tahu yang terbaik akan apa yang harus dibenci dan harus dicintai, dan sekali lagi, karena-Nya.
***
Mencoba menghibur diri :))
Kita tidak akan bisa mencintai seseorang seluruhnya, karena pasti ada hal yang tidak kita sukai darinya.
Well, memang membenci dan mencintai itu harus karena Allah ya, kadarnya pas. Karena Allah tahu yang terbaik akan apa yang harus dibenci dan harus dicintai, dan sekali lagi, karena-Nya.
***
Mencoba menghibur diri :))
Tidak Henti
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
"Ujian itu akan selalu menimpa seorang hamba sampai Allâh membiarkannya berjalan di atas bumi dengan tidak memiliki dosa"
HR. at-Tirmidzi no.2398 , an-Nasâ’i di as-Sunan al-Kubrâ no. 7482 dan Ibnu Mâjah no. 4523 (Hadits shahîh. Ash-Shahîhah no. 143)
"Ujian itu akan selalu menimpa seorang hamba sampai Allâh membiarkannya berjalan di atas bumi dengan tidak memiliki dosa"
HR. at-Tirmidzi no.2398 , an-Nasâ’i di as-Sunan al-Kubrâ no. 7482 dan Ibnu Mâjah no. 4523 (Hadits shahîh. Ash-Shahîhah no. 143)
Sabtu, 04 Mei 2019
Belajar
Sejauh ini, terbilang buku yang pernah ku baca kalau tidak novel ya paling komik (itu pun kalau komik terhitung buku bacaan hehe). Rasanya semasa sekolah hampir setiap buku pelajaran tidak pernah kubaca, oke, mungkin kalian juga tidak terlalu suka dengan buku pelajaran. Mungkin sesekali di buka untuk cari jawaban atau mungkin untuk dihafal karena ujian.
Bagaimana dengan buku selain buku pelajaran? Aku bahkan hampir tidak pernah ngeh ada buku selain buku pelajaran di rumah. Entah memang tidak atau benar-benar ku tidak tahu. Seandainya ada pun sepertinya itu kebanyakan buku terkait agama yang mungkin ku tidak bisa langsung tertarik gitu.
Aku pun masih ingat, setiap ada soal reading di pelajaran bahasa inggris pasti aku skip teks berparagraf-paragrafnya lantas langsung membaca soal baru deh cari jawabannya pelan-pelan di teksnya (tapi kayaknya banyakan setiap orang jawabnya gini). Alhasil aku bisa baca tulisan berkali-kali karena satu teks bisa beberapa soal.
Bagaimana dengan tugas akhir? Aku dulu kebayang tugas akhir penuh dengan catatan kaki yang diambil dari berbagai sumber. Sumbernya bisa berupa buku, jurnal, paper, atau lainnya. Tapi, terbilang aku hampir tidak pernah membaca buku untuk mencari sumbernya, seandainya aku harus mencari sebuah sumber aku langsung mencari apa yang aku butuhkan, bagian yang ingin aku sematkan. Karena dulu tugas akhirku memang tidak terlalu banyak penyematan catatan kaki, sekalinya ada, sudah ada di tugas akhir kakak kelasku yang hampir serupa. Mungkin pernah ku beberapa kali baca paper, itu pun karena halamannya hanya sedikit hehe.
Lantas, aku heran, melihat orang-orang bisa baca buku begitu cepat. Bisa baca buku dengan nikmat ditengah kesibukannya. Bahkan hingga buku berbahasa inggris. Wew, aku tidak habis pikir melakukan semua itu. Baca tercepatku saja waktu itu novel Charlie Bone Buku ke-2 yang kuhabiskan dalam 6 jam kurang lebih, itu memang seru banget sih...
Setelahnya? Aku terseok-seok dalam membaca buku.
Lalu kemarin sempat bahas soal bagaimana orang belajar sesuatu dan memahami sesuatu? Kemudian jawabannya ternyata adalah dengan membaca buku. Banyak orang belajar dengan membaca buku, banyak orang memahami sesuatu dengan membaca buku. Bukankah buku itu jendela dunia? Jendela ilmu?
Ketika membahas itu aku tertohok. Loh eh, kok aku selama ini hidup tidak pernah sadar akan itu ya? Kok aku merasa ya buku tidak ada bedanya dengan televisi, untuk mengisi waktu-waktumu saja. Aku tidak pernah sadar baca buku adalah sebuah pembelajaran.
Kemarin ketemu orang yang buat buku non fiksi sebanyak 25 dari SMA, dan dia hanya sedikit baca buku novel. Bayangkan orang yang telah menerbitkan buku sebanyak 25 pasti telah menelan bacaan buku yang jauh lebih dari angka itu--25. Apalagi bukunya non fiksi, buku-buku yang syarat akan pembelajaran riil. Secerdas atau sepintar atau sebanyak apa ilmunya orang itu?
Aku pun kepikiran, jadi selama ini aku belajar dari mana ya? Buku saja rasanya jauh dari jangkauanku. Aku pun tertawa sendiri pas baru ngeh soal orang belajar dengan cara membaca buku. Kok aku tidak pernah kepikiran ya? Jadi selama ini aku jarang belajar ya...
Oke, memang sih selama ini kebanyakan main. Hehe.
Jadi, apa kesimpulannya? Hmm tidak ada, aku hanya kaget saja. Mungkin sekarang aku punya pekerjaan rumah terkait membaca buku-buku. Mungkin memang harus diupayakan. Ya, tentu saja tidak ada salahnya membaca buku, buku kan jendela dunia kan?
Jumat, 03 Mei 2019
Ngantuk
Tiba-tiba kepikiran, kalau kita selalu mengalah apa kita sedang tidak menghargai diri sendiri? Mungkin tidak, tapi mungkin sesekali perlu sebuah ketegasan.
Oke, ngantuk sekali hari ini.
Oke, ngantuk sekali hari ini.
Langganan:
Postingan (Atom)