Aku sangat suka sekali dan menghargai betul bicara dengan orang, dimana orang itu benar-benar menghargai saat kita bicara, mendengar kita, dan menyahutinya dengan serius. Maksudku, dia benar-benar ada saat kita bicara.
Dari sekian banyak kubicara dengan orang-orang di kantor, ku bisa melihat mana orang yang benar-benar menghargai saat kita bicara atau tidak. Tapi, Alhamdulillah, amazingnya hampir semua orang kantor yang ku ajak ngobrol benar-benar menghargai saat kita bicara.
Salah satunya ka Amri, jika ketika voting untuk orang terhangat atau terfriendly bisa dibilang, ka Amri lah juaranya--emang bener juara itu sih dia. Setiap bicara dengan dia, seolah dia menurunkan semua yang ada dirinya dan membuat kita setara, seolah kita seumuran dan kemampuan kita sama. Maksudku, dia tidak berusaha menggurui, tidak berusaha menasehati, dia mendengar bahkan terkadang dia memuji sudut pandang kita. Percayalah, pekerjaan seperti tidak mudah, apalagi jika kita memang lebih banyak tau atua lebih tua dari lawan bicara kita, rasanya ingin ngasih tahu ini itu yang mungkin buat lawan bicara kita malah tidak nyaman.
Tidak jarang bahkan ka Amri membuka obrolan dan meminta saran. Rasanya sebenarnya agak aneh, meminta saran dengan orang sepertiku? Untuk pekerjaan yang mungkin aku belum sampai di levelnya. Tapi, aku senang, jika seseorang meminta saran kepada orang lain, berarti orang lain itu cukup dihargai olehnya dan menganggap sarannya mungkin bisa membantu. Tapi memang obrolan-obrolan itu sebenarnya menyenangkan sih.
Aku bukan tipikal pekerja sendiri, aku berpikir lewat obrolan. Dari obrolan-obrolan itulah otakku bisa ke trigger untuk berpikir lebih deep. Makanya, ketika dulu ikut lomba dan disuruh cari ide masing-masing, aku pasti akan melambaikan bendera putih. Tapi jika mencari ide lewat diskusi, lempar ide liar terus dikulik bareng-bareng, disitu aku merasa otakku bekerja lebih optimal dan menghadirkan hal-hal yang Insya Allah, biasa aja sih. hehe.
Mungkin dengan meminta saran ke beberapa orang itu cara ka Amri untuk berpikir seperti yang aku alami. Tapi ku tidak tahu dengan pasti.
Aku sangat senang ketika ka Amri presentasi atau menjadi mc atau bicara di depan umum. Aku pasti bisa terbahak-bahak olehnya. Pembawaannya yang ekspresif, tingkahnya yang seolah cocok menjadi bahan bully-an, cara bicara yang profesional, dan sarat akan ilmu-ilmu dari setiap buku yang pernah dibaca olehnya.
Terkadang, ketika aku melihat ka Amri di depan, aku jadi iri. Dulu aku ingin sekali bisa bicara di depan umum se-ekspresif itu, selancar itu, semenarik itu, dan sarat akan ilmu seperti itu. Tapi, aku sadar diri sih, banyak faktor yang harus kupertimbangkan. Tapi setiap kali aku melihat ka Amri di depan dan berbicara, aku selalu bilang "Pasti istrinya ka Amri beruntung banget nih, suaminya pinter, cara bicaranya keren, dan pembawaannya yang lucu."
Terakhir kali ada sebuah paket untuk ka Amri, dan tahu isinya apa? Ya, buku. Hampir setiap postingannya tuh banyak sekali tentang buku yang ia baca, entah ku pikir ini buku apa coba yang dia beli. Banyak sekali, dari bahasa Indonesia hingga bahas inggris. Terakhir kali ia dapat paket itu, ternyata dia beli buku tentang kerja tim, yang mana berbahasa inggris. Ku melihatnya aja udah serem, baca buku... Terus bahasa inggris... Tidak ada sama sekali terpikir olehku untuk melakukan itu.
Selain semua itu, dia juga buat podcast, beberapa kali ku dengar, well, aku merasa sedih saat itu. Nggak saat dengar podcast ka Amri aja sih. Ketika kajian atau obrolan-obrolan tentang tsaqofah Islam terus ternyata yang lain pada tahu sementara itu aku tidak tahu, ku merasa sedih, ternyata ku benar-benar tertinggal jauh ya dari orang-orang sekitarku... Hiks.
Terakhir, kegigihan, ku tidak habis pikir ka Amri punya stamina banyak saat bermain futsal. Jika ditanya orang yang paling main total di lapangan futsal setiap minggunya siapa, itu ka Amri namanya. Dia selalu datang paling duluan, pemanasan duluan, dan mainnya seperti kesurupan. Lari sana lari sini, bawa bola, tendang bola, nahan bola, rasanya ku heran, ini stamina kok nggak habis-habis ya? Padahal kayaknya yang kutahu dia olah raganya cuman futsal seminggu sekali aja deh.
Bahkan dia sering banget bermain futsal sampai guling-guling, sampai mukanya terkadang terdapat hamburan rumput sintetis. Dia pun sering main sejam full tidak diganti-ganti. Mungkin semua itu bisa disimpulkan dengan satu kata, kegigihan. Ya, seperti itulah gambaran dia ketika di lapangan futsal.
Selain mas Salingga di kantor yang ku anggap memiliki kemiripan dalam jati diri--walau sebenarnya jauh banget sih, ini mirip karena MBTI nya aja cuman beda ekstrovert dan introvert--ku merasa perjalanan ka Amri juga mirip denganku, walau tentu lebih azaming kisahnya dia sih sampai jadi Ketua BEM Fakultas dan unjuk rasa di gedung DPR.
Kesamaan yang ku alami adalah, waktu dimana kami merasa krisis dengan transisi dari kuliah yang bagai mimpi, ikut ini itu, berhasil ini itu, lalu ke jenjang pekerjaan yang... kok gini-gini aja? Sampai akhirnya ka Amri memutuskan untuk menikah. Dia bahkan menjadi orang pertama yang menikah di angkatan fakultasnya.
Aku ingat kata-kata perihal kenapa menikah harus segera, aku ingat ini kata dari mas Salingga, mungkin juga pernah terlontar dari ka Amri. Katanya tuh, biar kita tidak sibuk mikirin diri sendiri lagi. Kalau belum menikahkan kita mikirin kita sendiri terus, terus mikirin jodoh mulu, jadi mikirin umatnya kapan?
Kalau udah nikah, kita udah nggak bisa mikriin diri sendiri, dan kita bisa fokus untuk mikirin umat, atau mikirin yang lebih besar selain perkara jodoh... Itu mungkin kenapa mas Salingga dan ka Amri nikah begitu muda dan sekarang anak mereka sudah besar-besar.
Eh bukan maksudnya mau bahas soal nikah, tapi memang setiap orang punya problematika sendiri. Begitu pun yang ada di ka Amri, saat aku tahu apa masalahnya dia, aku seolah seperti berkaca pada diri sendiri. Loh, kok mirip kayak yang aku alami dan aku pikir ya?
Setelah kuliah, terombang-ambing, akhirnya mentok sibuk mikirin wanita--well, kita mengakui bahwa godaan terberat kita bukanlah jabatan ataupun tahta, tapi wanita--hingga akhirnya itu pun yang membuat ka Amri bilang, "Ini gak bisa solve lagi nih--soal wanita--selain nikah. Yaudah, gue cari temen SMA gue yang kira-kira memungkinkan. Akhirnya gue pilih istri gue. Gue yang orangnya pecicilan, sradak-sruduk, nggak bisa diem, gue pun berpikir nyari wanita yang pendiem, kalem, yang bisa nenangin gue saat gue kacau, dan itu adalah istri gue saat ini."
Ku hanya bisa tersenyum, sederhana tapi tepat. Memang terkadang sebenarnya kita tahu apa penyelesaiannya, tapi terkadang terhambat oleh banyak pemikiran buruk yang menghantui akan penyelesaian itu yang padahal belum tentu terjadi.
Perkara setiap orang punya godaan terberat sendiri, itu menjadi membuka pemikiranku, bahwa ya... kita tidak bisa menganggap remeh permasalahan atau ujian orang lain yang mungkin kita rasa, "Yaelah gitu doang." Karena takaran diri yang terbentuk setiap orang pun berbeda. Dan kurasa Allah akan terus menguji kita pada titik itu hingga akhirnya kita dipantaskan lebih baik pada titik untuk kita. Walau mungkin ujiannya tidak hanya sekali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
komentar bagi yang perlu