Merefleksikan sebuah pemikiran kedalam tulisan, seperti berusaha mengerti apa yang baru saja pemikiran dapatkan.
Bukankah bukti seorang itu paham adalah jika berhasil menjelaskannya kembali dengan bahasanya?
paham dan menghafal itu berbeda, seperti ujian, belajar hanya semalam, sebagian besar adalah hafalan yang didapat, lantas hilang. Sementara paham, sesuatu hal hingga pemaknaan kurasa.
Terkadang kita baru mendapatkan wawasan, rasanya ingin diceritakan kembali ke orang lain, bukan, bukan maksud mau sombong tahu ini itu, tapi ingin memastikan, apakah saya benar-benar paham? Atau hanya lewat sejenak, lalu kikuk.
Beberapa kali saya berpikir, untuk pelajarap praktikal, rasanya guru yang belom terjun ke industri langsung kurang afdol, karena mungkin dia paham, tapi tidak berpengalaman, wah, ada lagi ternyata, selain paham, ada pengalaman.
Ketika melihat guru yang sudah melalang buana, di dunia yang ia geluti, ia benar-benar bisa bicara lantang dan meyakinkan saat menjelaskan, dia tahu beberapa alur jika dilakukan, misal A bakal begini nanti, kalau B bakal begini dengan yakin.
tapi, untuk pemahaman sejarah memang sulit, karena satu-satunya pengalamannya adalah, membaca buku dan mencari kebenaran setiap yang dia baca, dari situ, mungkin tahu seluk-beluknya.
maka tak sedikit, para guru, dosen, atau orang-orang hebat membuat buku, selain karena keuntungan tambahan, tapi juga membuktikan bahwa pemikirannya, pengalamannya, layak diketahui hal layak. Karena seleksi untuk nerbitin buku tidak semudah nulis tweet ini.
Maka dari itu, Tugas akhir tidak menganjurkan menyadur dari blog, dan mengutamakan dari buku atau jurnal. Karena, keilmiahannya terjaga.
Namun, permasalah lainnya adalah zaman sekarang rasanya ingin mendapatkan langsung pada pointnya, maka itu internet lebih laku ketimbang baca buku yang berhalaman-halaman, dan karena itu pemahaman kita--terutama saya sendiri--sangat terbatas, karena hanya tau pointnya saja.
Membaca adalah bentuk kelapangan, seperti halnya mendengarkan, kita harus bersabar... Harus teliti dan fokus, baru kita dapatkan asal mula, sehingga, dan akibat dari sesuatu itu. Lalu kita dapat menyikapi atau menyimpulkan bahkan menjelaskannya
Dan menulis kembali adalah merefleksikan pemahaman yang baru saja didapatkan, untuk meyakinkan, bahwa sebenarnya kita sudah cukup paham akan sesuatu tersebut.
Mungkin, pembelajaran pertama untuk anak-anak kita nanti adalah bukan bagaimana bisa berbicara yang indah dan tak diduga, tapi harus belajar mendengarkan dan memahami sesuatu dengan lapang. Itu kenapa, adab perlu dikedepankan.
Bahkan, ulama salaf saja meminta untuk muridnya belajar adab dahulu sebelum menimba ilmu. Kenapa? Dengan beradab kita dapat dengan mudah menerima ilmu itu. Karena jika sudah belajar adab, kita bisa memaknai dan menghargai, apapun itu, entah ilmu atau sebuah kehidupan.
Itu jauh dari zaman kita, zaman kita? Di jepang, mereka dari kecil sudah diajarkan adab lebih dahulu, matematika, bahasa, dan lainnya itu belakangan. Karena pelajaran terberat adalah adab.
Wah ternyata dari merefleksikan jadi kepermasalahan adab. Jika berkaca ke diri sendiri, memang diri ini rasanya tidak lapang mendengarkan orang lain, tidak sabar membaca sesuatu hal, sehingga diri sulit paham. Karena adab pun kurang.
Bagaimana diri bisa bermanfaat bagi orang lain? Sementara orang lain benci dengan adab kita? Bukankah itu sebuah paradoks? Bagaimana kita bisa menjadi pintu hidayah orang lain? Kalau mereka melihat adab buruk kita lantas enggan mendengarkan kita?
Ternyata, menjadi manusia seharusnya sulit, lantas untuk apa ilmu? jika semua tidak ingin mendengarkan kita karena adab kita? Mungkin itu, mengapa adab pun penting untuk apapun.
Semoga Allah SWT menjaga lisan, perilaku, pikiran kita dan senantiasa selalu baik dan istiqomah di jalannya, karena InsyaAllah, jika mengikuti pedomannya, adab kita pastilah baik, ilmu pastilah berkah. Karena selain memiliki, keberkahan membuat apa yang kita miliki bermanfaat.
- ditranskrip dari twitter pirbadi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
komentar bagi yang perlu