Sejauh kemana pun aku pergi, pada akhirnya, aku benar-benar ingin pulang. Kepangkuan, dengan segelas teh hangat, dan bercengkrama tawa.
*
Akhir pekan ini aku berjumpa oleh teman kampusku yang ingin sekali aku ceritain di sini, karena dia berhasil membuatku tersentak oleh kata-katanya.
Namanya keju, itu nama panggilannya, nama aslinya Rinaldy. Tanpa disangka dia salah satu teman pertamaku di kampus dan ternyata kita sampai sekarang tetap akrab, dibanding aku kepada teman-temanku pertama di kampus lainnya.
Keju orang yang pendiem, pendiem yang konsisten dari awal hingga sekarang. Orang yang selalu bisa diandalkan dan memegang teguh kata-katanya, makanya aku selalu menghargai setiap main sama dia, aku pasti dateng jika dia sudah mengiyakan.
Keju sangat suka fotografi, bahkan dia rela fotoin setiap main, videoin setiap main hanya untuk berkarya dan kami sangat berterima kasih dan menikmatinya. Bahkan terkadang dia jadi tukang foto kita-kita pas lagi main. Maaf ju.
Namun, belakangan ini dia terkena musibah besar, ibunya meninggal, beberapa minggu yang lalu, sebelum lebih jauh mari sama-sama kita doakan agar almarhumah ibunda keju diterima disisi Allah, semoga amalan baiknya di dunia dilipat gandakan, dan kesalahan-kesalahannya dihapuskan serta semoga keluarga yang ditinggalkan dikuatkan. Aamiin.
Berita itu memang sungguh mengejutkan, keju memang tidak pernah cerita kalau orang tuanya mengalami sakit, jelas karena dia orang yang pendiam. Tapi, karena kami sudah cukup akrab, terkadang dia suka bercerita, tepatnya akhir pekan ini.
Kami yang terlibat sebuah proyek akhirnya bertemu lagi setelah beberapa bulan tak berjumpa karena aku yang melarikan diri dari teman-teman karena suatu alasan. Setelah persitiwa duka dari keju, ternyata keju pun membuat heboh diriku.
Keju yang aslinya bertempat tinggal di Bali, akhirnya memutuskan resign dari kantornya—di Jakarta—bulan depan dan berniat balik ke Bali untuk menemani ayahnya yang sendirian dan ingin ikut dagang membantu ayahnya.
Saat mendengar itu, aku terkesiap, keju termasuk orang yang santai dan gigih, dia pandai berdagang walau pendiem. Tapi, keputusan itu membuatku benar-benar terkejut. Aku pikir, kakak perempuannya—mereka dua bersaudara—yang seharusnya pulang, tapi ternyata keju lebih, ah tidak, dia jauh lebih hebat dariku. Dengan hebatnya dia berkata.
“Gue kan cowok, kewajiban gue yang ngurus orang tua, kakak gue nanti kan kalau nikah dibawa suaminya.”
Aku, terdiam seketika.
Mendengar keputusan keju untuk pulang ke kampungnya, untuk berhenti dari kantornya sebagai programmer dan meneruskan usaha ayahnya sebagai pedagang benang dan berencana membuka sebuah konveksi adalah manuver besar.
Tapi, entah kenapa aku selalu yakin dengan keju, keju yang gigih pasti bisa memperluas bisnis ayahnya itu, terlebih keju memang passion dibidang pakaian. Namun, tetap saja ini terlalu... terlalu cepat.
Jika melihat keyakinan itu, aku merasa malu. Benar-benar malu, mengingat aku yang malas pulang, mengingat aku yang ingin buru-buru menikah, padahal aku belum banyak berbakti dengan orang tua, tapi aku sudah ingin melepas diri lagi saja.
Apakah aku harus perlu ditegur besar-besaran oleh Allah agar aku sadar makna kenikmatan pulang itu? Beruntungnya, Allah memberikan kenikmatan pulang itu selama ramadhan. Aku jadi terpikir saat keju bilang akan pulang ke Bali bulan depan dan meninggalkan Jakarta, dan meninggalkan kami teman-teman kampusnya serta teman mainnya.
Aku jadi kepikiran, kalau sekarang aku benar-benar rindu pulang. Sayangnya hari ini aku tidak bisa pulang ke rumah, aku pulang ke rumah nenekku, ya sama saja, tapi entah kenapa aku rindu pulang ke rumah. Entah kenapa aku selalu menunggu waktu selepas subuh. Saat Ummi teriak dari ruang tengah. “Siapa yang mau teh?”
Dan aku serta adik-adikku berseru “Mau.”
Lalu kami meminum teh yang selalu panas, tapi sekarang Ummi buat teh untukku yang sudah dicampur air biasa jadi tidak terlalu panas. Terkadang ditengah minum teh selepas subuh itu kami bercerita, entah aku, entah ummi, entah abi, atau aufa. Kalau Ahmad? Terkadang tidur lagi.
Cerita macam-macam, entah ledekan pernikahan, masalah pesantren aufa, dengerin ceramah bareng-bareng dan pasti ada masa dimana pas dengerin ceramah saling bilang. “Tuh! Tuh! Tuh mi, tuh fa, tuh bi, tuh hil!” Ya biasa saling tunjuk.
Tak jarang Ummi terlawa lepas, ah rasanya bahagia sekali punya Ummi yang mudah tertawa, bahkan candaanku yang selalu garing pasti Ummi pasti selalu tertawa. Parahnya, pernah Aufa membuat banyolan dan Ummi tertawa hingga pipis dicelana... ups... Bisa gitu ya? Aku sampai tergelak tak karuan waktu itu.
Aku juga kangen sepulang kantor mendusel ke Ummi entah Ummi berada dimana, terus Ummi pasti cerita... “Kamu tuh ya Hil dulu tuh blablablabla...” Ya, biasa menceritakan masa kecilu yang hanya 2 tahunan bersama Ummi.
Rasanya, ah, rasanya momen ini selalu kunanti dan selalu membuatku ingin pulang dan tahu makna pulang. Tapi, mungkin keju tidak seberuntung aku sekarang, dia harus mengikhlaskan ibunya dan berusaha keras merawat serta berbakti kepada ayahnya. Beruntung, keju orang yang tenang, dia tidak gampang misuh-misuh sepertiku atau menyesali apapun, dia seolah tidak terjadi apa-apa walau baru saja ujian besar menimpanya.
Ketika kutanya soal mengejar mimpinya? Dia masih bersikeras untuk pulang ke bali dan bekerja santai bersama ayahnya.
Mungkin sekarang aku belum benar-benar mengerti kenapa keju bersikeras pulang ke rumah, tapi aku tahu kenikmatan pulang itu. Ah, semoga sebulan terakhir ini kita bisa terus menjalin persahabatan yang baik dan saling mengingatkan ya, ju. Semoga kita juga sama-sama sukses di jalan Allah.
Aku tidak sabar ju ente mengirim undangan. Jangan lama-lama ya, nanti keburu didahuluin orang hehe.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
komentar bagi yang perlu