Semenjak ramadhan aku sering pulang, biasa nginep di kantor atau di lab, kali ini aku memutuskan untuk sering pulang. Jika ditanya kenapa aku ingin pulang? Aku lantas menjawab, ya ingin saja. Lalu pembicaraan terhenti.
Tapi, ketika aku bertanya ke temanku, kenapa nggak mau kerja di perusahaan besar? Lalu dia menjawab, ya karena tidak ingin saja.
Lalu aku menolak, aku yang terlalu ingin tahu lantas menanyakan lagi. "Masa ingin aja, pasti ada alasan."
Dia pun menjawab panjang kali lebar. "Kenapa sih setiap orang nanya ke saya, lalu saya jawab pengen aja, males aja, selalu harus ada alasannya lagi? Padahal itukan sudah menjadi alasan?" Katanya disambung dengan penjelasan tidak inginnya kenapa.
Pada akhirnya ada sebuah alasan bukan?
Belakangan ini, aku meyakini, malas bukanlah kelemahan seseorang. Kata rekan kerjaku, ah aku lupa, setidaknya itu bukanlah kelemahan. Karena ya, itu kondisi pasti yang ada di setiap orang.
Bahkan ada memanfaat malasnya dengan bekerja lebih sistematis dan efisien. Terkadang aku juga berpikir begitu, saking malasnya, bagaimana dengan mengubah A, semua keubah. Sistematis dan efisien.
Terkadang aku juga berpikir, ketika aku seorang pengacau hadir dengan sifat pengacau ditengah-tengah orang-orang pendiam, apakah sifat yang sudah menghinggap lama itu harus berubah mengikuti apa kata pendiam? Aku lalu bingung, aku harus berubah setiap dimana aku berada? Masalahnya sifat seperti itu seolah seperti "bawaan dari lahir" bagaimana manusia terlahir dengan berbagai sifat, jika disederhanakan ada yang ekstrover ada yang introvert, ataupun ambivert. Dan segala detilnya.
Bagaimana? Tentu saja, terkadang, mengacau itu sangat tidak menyenangkan bagi introvert, terlalu berisik, lalu bagaimana nasib ekstrovert yang bisa mati rasa jika dia diam saja? Tapi, bagaimana juga introvert yang bisa mati rasa dengan kebisingan? Lalu suasana hening.
Suatu saat, aku pasti punya ambisi setelah melalui hari-hari tanpa ambisi, tampaknya aku mulai punya ambisi, ambisiku adalah berkeluarga, belakangan ini sering membayangkan jika berkeluarga, jika punya anak nanti pengen tahu anaknya suka apa, mau jadi apa, potensinya dimana? Dikembanginnya gimana? Rasanya tidak semua ingin dimasukan ke pesantren seperti ibu ayahku lakukan, rasanya menjadi seorang pemeras sapi profesional juga bagus, atau peneliti sampah, ah apapun jika ditekuni pasti bagus, enyah dengan orientasi uang.
Dari dulu, aku selalu dengar, ngelakuin tuh yang menghasilkan uang, biar gak sia-sia. Padahal apa-apa yang aku lakukan sekarang adalah apa-apa yang mereka bilang buang-buang dan sia-sia. Tapi, sekarang nyatanya, Alhamdulillah, ada uang yang didapat. Lalu siapa yang salah?
Sekelebat berpikir, apa jika lamaran pertama ditolak aku masih punya malu untuk melamar kedua kali atau tiga, atau empat? Bagaimana pria perasa melewati itu? Tidak harus dipikir tampaknya, lebih baik tidak melamarnya.
Terkadang merasa, selain Allah, kesiapa aku harus bercerita sekarang? Tidak, apa peduli mereka-mereka? Bahkan untuk cerita ke teman yang berpuluh tahun sudah kita klaim sebagai sahabat, tetap saja selalu ada keraguan setiap ingin cerita, apakah mereka peduli? Apakah aku merasakan sebuah kelegaan? Apakah aku mulai ragu kalau kita-kita adalah manusia yang saling peduli?
Dan renungan terakhir waktu itu, jika aku punya ambisi lain, salah satu ambisiku adalah mewujudkan ambisi istriku. Ya, jika aku ditakdirkan mempunyai istri.
Oh ya, apa yang dirasa beberapa tetanggaku yang menikmati harinya sendirian? Terkadang banyak omongan tentangannya karena tidak bekerja, adiknya juga sama, tapi sedikit lebih baik. Aku penasaran, apa yang mereka pikirkan tentang kesendirian dan tidak ada ambisi bekerja seperti itu. Semoga saja aku salah menilai, dan mereka sudah jauh jauh lebih baik. Semoga cepat ditemukan jodoh dan disemangatkan kerjanya ya.
Kenapa? Kenapa jodoh itu begitu penting? Padahal kematian lebih siap. Karena apa-apa yang dilihat mulai memuakkan, nyatanya, mereka seolah bermesraan tapi hati tak tenang tak karuan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
komentar bagi yang perlu