Jumat, 30 November 2018

Kontemplasi Mimpi

15 menit menjelang maghrib. Sore ini langit tampak lebih gelap, hujan sedikit mengguyur. Aku dan kelima temenku masih berada di ruang kantor yang tampak lebih berbeda, pembahasan yang berbeda.

Mas Salingga bertanya. "Jadi, sebelum diakhiri Knowledge sharing Zaki, mungkin bisa ceritain mimpi atau hal yang ingin di lakuin 1 tahun 5 tahun dan selebihnya?"

Zaki tertawa kecil, ternyata dia tidak serta menjawabnya. "Aku mau jawab, kalau semuanya pada cerita juga."

Karena ini pembahasan yang sangat umum dan menyenangkan, semua pun tidak ada yang menolak untuk menjawab pertanyaan mas Salingga kepada Zaki itu. 

Jawaban dimulai dari mas Salingga sendiri. "Kalau gue sih ada niat untuk kuliah lagi, terus punya usaha sendiri gitu, intinya diumur 35 tahun gue mau punya usaha sendiri dan nggak jadi pekerja kayak sekarang gini. Kalau kuliah jurusan data sains." Kurang lebih jawabannya seperti itu jika dirangkum.

Setelah mas Salingga kita menentukan arahnya, ternyata menggunakan arah jarum jam, aku berada tepat di sebelah kanan mas Salingga. Jadi pun akulah selanjutnya. Dengan berbangga hati aku pun menjawab. "Untuk dekat ini, aku ingin menikah!" Kataku, lantas mereka tertawa.

"Karena aku tidak punya mimpi atau tujuan sekarang, jadi aku bermimpi mau wujudkan mimpi istriku aja, jadi makanya aku mau nikah!" Jelasku.

Abid protes sambil tertawa. "Kalau dapet istri yang nggak punya mimpi gimana?"

"Ya, pas kenalan cari tahulah." Jawabku.

"Kalau pas kenalan ada mimpi tapi udah nikah istri lu maunya jadi ibu rumah tangga aja gimana?" tanya mas Salingga.

"Kalau gitu, mewujudkan cita-cita anak-anaknya aja." sahutku.

"Kalau anak-anaknya nggak punya mimpi? Terus udah gede gak punya mimpikan, menikah sama istri yang gak punya mimpi." Bayang Abid.

"Looping forever gitu ya..." Tambah mas Salingga.

Kita pada tertawa saja, apalagi aku, ngakak mendengarnya. "Ya, bagaimana lagi, nggak tahu mau gimana, nikah dan wujudkan mimpi istri aja deh."

"Oke, oke, lanjut deh ke Abid." Kata mas Salingga.

Abid menjawabnya dengan wajah penuh harap. "Kalau saya tuh pengen ke lampung, pengen punya kebun sendiri dibelakang rumah, terus punya usaha pertanian sendiri, sama sebenarnya ingin punya perpustakaan gitu, di Lampung tuh minat bacanya sedikit, jika dihitung tuh, minus kali disana anak-anaknya terhadap minat baca." Dia pun menjelaskan lebih mengkhayati. "Sama mau jadi guru juga saya tuh disana."

"Mulia sekali Abid ya. Tidak menyangka." Kata Zaki sambil pada tertawa-tawa.

"Luar biasa, lalu pak Ardhi." Kata mas Salingga

"Kalau saya ingin lanjut s3, terus bikin buku, buku tentang software engineering keseluruhan gitu."

"Kalau nikah nggak mau pak?" Tanyaku menggoda-goda.

"Kalau itu mah semua mau, My." Kata Abid, pak Ardhi hanya mesem-mesem saja.

"Kalau Nadia gimana?" Tanya mas Salingga melanjutkan pembahasan karena maghrib semakin dekat.

"Hmm aku tuh pengen jadi guru juga, pengen fokus di desain, karena aku pikir desain tuh bukan sekadar visual, tapi cara berpikir. Aku pengen membuat orang menikmati desain di level tertinggi, yaitu cara berpikirnya." Kata Nadia.

Lalu Zaki menimpali dan sekalian giliran dia. "Nah, kalau Nadia kan dia pengen desain karena pengalamannya ya yang membawa dia ke desain, kalau aku tuh pengen membuat anak-anak tuh mendapatkan bimbingan yang baik untuk mereka. Nah salah satunya itu dari menulis buku anak."

Aku mengangkat tangan. "Aku boleh nambahin mimpiku gak? Kayaknya kalian keren-keren, masa aku cuman nikah sih." Katkau memelas.

Mas Salingga menahannya. "Nggak bisa!"

Aku ketawa sendiri.
Saat itu maghrib tiba.

Mendengar mimpi teman-teman disekitarku, aku jadi mikir, betapa payahnya aku ini ya, keinginannya menikah, tapi mana ada yang mau sama orang yang tidak punya mimpi atau tujuan? Padahal jelas ustadz-ustadz bilang, lihat pria itu dari visi misinya... Aku jadi tertawa sendiri.

Lalu pak Ardhi cerita kepadaku. "Dulu pak Amri bilang mau menikah diumur 35 tahun, tapi akhirnya malah 23 tahun. Istrinya masih koas lagi."

"Hmm, gimana tuh ceritanya?"

"Iya, dia sama nggak punya mimpi juga kayak kamu, My. Terus dia menikah, akhirnya kayak ada yang harus diperjuangkanlah, setidaknya keluarganya itu."

"Aku sepertinya harus berguru sama pak Amri nih." kataku.

Sampai sekarang aku masih heran, kok bisa ya mereka punya mimpi hebat-hebat gitu, kenapa aku sekarang tidak punya mimpi yang harus diperjuangkan? Rasanya benar-benar payah sekali. Mewujudkan mimpi emang begitu terjal, tapi rasanya keren dan menyenangkan.

Lalu aku bertanya ke diri sendiri, kenapa aku tidak punya mimpi? Lalu bagaimana aku bisa jangan menyerah sementara aku tidak memperjuangkan apa-apa. Aku pun bilang ke pak Ardhi, menyahuti katanya tentang tipikal hidup "Let it flow".

"Tidak pak, aku tidak orang yang mengalir begitu saja, tapi herannya sekarang aku seperti nggak ada arah."

Aku terus bertanya-tanya, dan rasanya jadi sedih ya. Bagaimana mau punya anak hebat, sementara jadi anak aja masih terombang-ambing akan jati dirinya. pffft... Untuk menikah pun saja rasanya malu, bahkan untuk memikirkannya pun. Bahkan bahkan menulis ini pun malu.

Bukankah mimpi itu yang mematahkan keterbatasan dan mewujudkan harapan? Tapi, dimana mimpiku itu? Haruskah aku terlelap untuk melihatnya? Atau jangan-jangan aku hanya tidak bisa menentukan? Payah sekali bukan?



3 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. Akhirnya tau ending ks zaki. Setelah aku cm dpt spoiler abis aku pergi pd ngomongin apa. Seru yaa pada cerita2 gitu ((sebagai pendengar seru wkwk)) :") jd pengen denger ks zaki lebih lama deh :") lebih lama dr yg berlangsung mgkn ya. tq mi ceritanya

    BalasHapus
  3. Sama-sama fit, seruuu banget sih, mereka keren-keren wkwk pfftt. Jadi sudah sampa mana mimpi fitri? haha

    BalasHapus

komentar bagi yang perlu