Suara mesin kereta terdengar mengeras, dorongan perlahan terasa, pemandangan dibalik kaca jendela mulai silih berganti, perlahan tapi pasti, lalu begitu cepat untuk dicermati setiap detilnya.
"Kenapa kamu menangis?" Tanya teman bocah itu.
Suara laju kereta terdengar begitu keras. Begitu banyak penumpang, semua berdesakan, berdiri dan tangan bergelayutan, tak sedikit bersandar pada tiang-tiang, dan tak sedikit menanti kursi di setiap stasiunnya.
"Satu yang tak bisa berbohong." Kata si bocah.
"Hmm?"
"Air mata."
"Jadi kenapa kamu menangis?"
Si bocah mendongak, mengusap air matanya. "Apa di setiap masa yang dilalui akan selalu teringat kembali? Kereta ini, ku mengelilingi Jakarta dan menyaksikan kehilangan."
"Jadi, ini soal kehilangan juga?"
Si bocah menatap temannya. "Apa aku harus lari dari semua yang keterhubung dengan kenangan itu? Apakah aku harus sepengecut itu?"
Teman bocah tersenyum. "Tidak, itu bukan perbuatan pengecut."
Si bocah tersenyum tipis, seperti menemukan sebuah jawaban.
"Tapi, kamu akan berkeliling dunia setiap melewati suatu masa." Tutur teman si bocah, lalu menatap ke arah si bocah. "Waktu adalah satuan, kamu akan terus memiliki kenangan, selama angka di depan satuan itu terus bergerak, dan mau lari kemana lagi kamu setelah begitu banyak angka di depan satuan itu?"
"Mati?" Sahut bocah.
Saat itu kereta melaju begitu cepat, 100? 120? 150? tidak tahu persis berapa kecepatan kereta itu dalam satuan kilometer, suara sirine datangnya kereta terdengar kembali, di setiap palang-palang tertutup, di setiap penantian-penantian pengendara untuk menyeberangi rel.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
komentar bagi yang perlu