Kamis, 18 Oktober 2018

Renungan 17 Oktober

Kesempatan berbicara.
Malam itu akhirnya aku tahu apa itu kesempatan berbicara. Ternyata begitu rasanya, dan tiba begitu saja aku jadi malu untuk berbicara. Malu disini bukan seperti malu berbicara pada orang pertama kali kenal. Ini malu yang... entahlah, rasanya apa yang aku bicarakan akan menjadi payah. Ku menahan-nahannya.

Mendengar.
Jika sosialisasi ada achievement-nya, mungkin malam itu aku mendapatkan achievement dalam hidupku dengan mendengar sangat baik dan memerhatikan serta memahami apa yang lawan bicara katakan, dan begini ya rasanya mendengar dengan baik. Aku seperti tenggelam dalam kisahnya, mengkorek-korek kisah yang aku punya, tanpa memotong kisahnya dengan kisahku. Bahkan aku jadi malu untuk berbicara kisahku saat aku diberikan kesempatan berbicara.

Suatu hal.
Sebagai orang yang suka cerita, aku tidak bisa menahan apapun di kepala. Sebuah sakit bagiku jika membendung terlalu banyak hal tanpa aku ceritakan. Mungkin jika pribadi kebalikan dariku, sakit rasanya terlalu banyak cerita ke orang lain akan sesuatu hal yang kita pendam. Tidak ada yang salah, tidak ada yang benar. Kita tahu apa yang harus kita lakukan untuk merasakan lebih baik.

Maskud dan tujuan.
Tidak semua tujuan baik menghasilkan yang baik, apalagi buruk. Terkadang, apa yang di kepala dan di mulut suka tidak berbanding lurus, apalagi tipikal orang sepertiku, apa yang diucap tidak dipikirkan matang-matang. Dan semua mungkin menjadi kesalahpahaman. Manusia memang terlalu unik. Apakah kita harus menerima kisah hidup latar belakang dan segala alasannya? Kita yang mengalah atau mereka yang mengalah? Kita yang menerima atau mereka yang menerima?

Berpikir.
Jauh, dari hari-hari ini. Berpikir bagiku adalah untuk setiap mata pelajaran dan tidak untuk bersosialisasi. Seiring waktu, banyak hal menyakitkan yang kuterima, dan aku sekarang suka berpikir. Bahkan, mungkin, kerjaanku adalah berpikir, termenung, kenapa semua bisa seperti ini? Apa selanjutnya?

Perasaan.
Untuk segala kemanusiaan yang ada pada diriku, sebagai mahluk yang cukup perasa, menenangkan disambut dengan sifat perasa lainnya. Kita mencoba untuk memahami, tidak satu arah, hingga akhirnya balik lagi, dan aku mulai malu, malu untuk dipedulikan dan dipahami. Atau ini perasaan yang dimaksud "Tidak suka dikasihani?" Tergantung darimana kita melihatnya.

Terkukung.
Sakit, aku merasa sakit setiap melihat banyaknya orang tapi tak adanya pembicaraan. Rasanya pusing melihat semua sibuk masing-masing. Terkadang tujuanku pergi bekerja adalah menikmati lingkungan dan bercengkrama. Walau tidak bisa sepenuhnya, aku merasa sedikit terobati dengan bisikan-bisikan yang ada. Terima kasih yang telah memahami itu.

Verbal.
Menyambung maksud dan tujuan. Walau aku suka bersosialisasi, tapi harus aku akui, bicaraku sangatlah kacau, aku tidak bisa memilah diksi dan intonasi yang tepat untuk maksud dan tujuan yang baik itu. Apa aku boleh menyalahkan masa lalu yang begitu kejam sehingga menyebabkan semua ini? Atau aku hanya sedang mencari-cari alasan atas kepayahan ini? Aku lebih suka menulis, walau terkadang masih membingungkan, tapi, aku bisa menjelaskan panjang lebar dengan BERPIKIR. Tidak seperti bicara, aku tidak pernah berpikir, sebelumnya.

Kenapa?
Ya, kenapa bulan oktober ini begitu banyak hal yang aku tulis? Bahkan sedikit saja terlintas di kepalaku, aku tidak bisa menahannya, semuanya mau aku tulis. Seperti layaknya orang yang hanya ingin didengar. Terkadang aku menulis hanya karena ingin dituangkan. Kenapa sebelum-sebelumnya aku bisa menahan, bahkan di tahun 2017 aku hanya menulis blog hanya sekali? Karena, saat itu, aku memiliki banyak orang yang mau mendengar ceritaku, tapi sayang, aku belum belajar bagaimana caranya mendengarkan orang lain. Terima kasih rekan-rekan 2017.

Semua baik-baik saja.
Walau ada hal aneh kurasa. Saat semua terlihat baik-baik saja. Tidak... tidak ada sedikit pun yang terlihat seperti masalah, bahkan semua sangat... Sangat baik. Tapi, hatimu seperti berkata tidak dan dia tidak bisa berbohong. Ada prasangka-prasangka yang menggerus semua yang terlihat baik-baik saja, dan aku bertanya-tanya, ada apa? Apa yang tidak aku ketahui? Apa yang salah? Apa yang terlewatkan? Dimana aku bisa memperbaiki prasangka buruk ini? Tapi, aku belum menemukan, bahkan saat aku ingin bertanya tentang ini, sepertinya Allah tidak mengizinkan aku bertanya, apa kalian pernah merasakan hal yang sama dengan ini? Bagaimana solusinya? Baik, mungkin benar apa kata Mas Salingga, Allah mau kita mengadu banyak hal kepada-Nya, bercerita kepada-Nya, semuanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

komentar bagi yang perlu