Senin, 29 Oktober 2018

Intropeksi Diri Sebelum Melangkah

Beberapa hari ini, banyak sekali rasanya orang berucap. "Melihat diri sendiri, pahami diri sendiri." rasanya kayak benar-benar diingatkan untuk berhenti melangkah sejenak, lalu menatap diri sendiri, jadi apa langkah selanjutnya? Apa kamu sudah yakin dengan kemungkinan langkah itu?

Tapi, tidak hanya diingatkan untuk melihat diri, rentetan peristiwa di negeri ini pun membuat sesak kepala, dan pada akhirnya memaksa kita untuk melihat diri, melihat negeri ini. Seolah tiada habisnya, belum kelar gempa lombok, tsunami palu, belum kelar tsunami ditambah lifikuasi, belum-belum bencana gempa yang seolah saling sahut menyahut, gunung-gunung yang seperti muak dan mengeluarkan isi perutnya, dan sekarang tak kalah mengerikan pesawat baru yang jatuh ke perairan. Semua itu, memakan jiwa begitu banyak, sangat banyak...

Rasanya memang harus berhenti melangkah sejenak dan bermuhasabah atau intropeksi diri, apa yang sebenarnya terjadi? Apa langkah berikutnya? Dari sekian banyak rentetan masalah ini, bertubi-tubi, pasti ada masalah fundamental yang membuatnya tidak henti-henti. Tidak hanya ketika terkena masalah, ketika hidup begitu dimudahkan kurasa kita juga harus berhenti melangkah sebentar, apa dengan dimudahkannya aku tetap berada di jalan-Nya? Bukankah hidup ini adil? Semua pasti ada pesan yang ingin disampaikan dari rentetan peristiwa-peristiwa.

Balik lagi ke diri sendiri, rasanya belakang ini ketakutan dan kebingungan oleh masa depan seolah dibantu oleh beberapa teman yang dijumpai. Mereka bilang dengan mantap. "Kita harus melihat ke diri kita, apa yang kita sukai? Apa yang kita merasa ikhlas menjalankannya?"

Aku menatap mereka-mereka yang berbicara itu dengan membayangkan, apa? Apa jawaban dari pertanyaan itu pada diriku sendiri? Lalu mereka melanjutkan. "Yang tahu jawabannya adalah, diri kalian sendiri. Kalian harus memahami diri kalian sendiri. Kita pasti merasakan takut, contohnya pengen jadi komikus, rasanya takut, udah banyak komikus hebat, kita tidak mungkin bisa, dan itulah kesalahan."

Aku tersenyum, ah, kenapa jauh-jauh pusing memikirkan apa-apa, sementara jawabannya di diri sendiri? Bukankah kita berhenti sejenak untuk termenung--berpikir?

"Terkadang ketika saya mikir mau mengerjakan apa, rasanya semua sulit, rasanya nggak mungkin, karena terlalu dipikirkan, pas ngelakuin apa yang seneng, itu rasanya mengalir aja gitu, dan dapat deh goalnya."

Hmmm, terlalu banyak berpikir tak bagus juga ya. Sebentar, tapi kenapa aku harus memikirkan sesuatu yang beda dalam hidupku sementara banyak hal yang bisa aku kembangkan? Seperti, kenapa kita harus jadi spesial? Sementara semua orang pun berusaha jadi spesial? Bukankah ketika semua jadi spesial jadinya tidak ada yang spesial lagi? Haha. Tapi, sesungguhnya kita semua sudah terlahir spesial bagiku.

Ya, kenapa harus memikirkan yang tak perlu.

Jika zoom out, dari mengenali diri sendiri, sekarang mungkin juga berlaku untuk negeri ini. Seolah diambang kiamat, semua yang ada di negeri ini begitu saja hancur, dari yang kokoh hingga rata dengan tanah, dari yang terbang tinggi menjadi tersungkur ke dalam lautan. Bukankah itu peringatan atau azab dari Allah?

Semakin diperanginya Islam di negeri ini apakah berkaitan dengan kekacauan yang tak bisa dibendung oleh manusia ini? Allahua'lam, tapi bukankah Allah sudah mengingatkan?

Surah At-Taghabun, ayat 11:

"Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan ijin Allah; dan barangsiapa yang beriman kepada Allah niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu."

Jika ditilik dari media-media dan kenyataan dilapangan seolah semua sudah gila, apakah akal cuman pajangan? Bagaimana bisa fitnah begitu terang-terangan terjadi, apakah ini pembodohan masal? Ah, benar-benar memuakkan. Penegak keadilan bersekongkol dengan para penguasa dan konglomerat, lalu dimana kehidupan itu? Rakyat hanya menjilat dan terseok dalam derita.

Ah, entahlah, aku harap semua ini segera berakhir. Terkadang aku sampai enggan membuka sosial media yang isinya hal-hal bodoh semacam itu. Apakah tidak bisa drama Game of Throne saja yang disajikan di kehidupan nyatanya ini, kenapa drama murahan bak sinetron pengejar rating yang tayang setiap hari dan cerita yang amburadul tak bisa dipahmi yang harus disajikan di tengah masyarakat, sungguh tidak nikmat dan tidak menantang, kebodohan itu hanya memuakkan.

Semoga negeri ini baik-baik saja, semoga semua, aku, kita, segera bertaubat dan memohon ampun untuk semua bencana yang beruntun ini. Tentu saja, negeri ini harus segera intropeksi diri, itupun jika mereka menggunakan akal mereka. Ya, semoga Allah masih menggerakan hati-hati dan pikiran mereka, bukankah hidup ini hanya pinjaman bak barang-barang kantor? hish...

*

Luangkan waktu sejenak, menatap diri sendiri, berpikir dan memahami... Apa yang salah pada diri? Seperti yang dibilang orang-orang kantor, bisa jadi karena ada yang bermaksiat--salah seorang dari orang-orang kantor--membuat kantor menjadi disulitkan dari segi apapun. Begitu pun diri dan negeri, bisa jadi ada dosa-dosa yang belum dimintai taubat, sehingga Allah terus mengingatkan, dan kita harus cari tahu pada diri sendiri. Apa yang salah? Apa yang perlu diperbaiki?

Huuuh... ngomong apa ini aku ya. Intinya, intropeksi diri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

komentar bagi yang perlu